Edge of Existence: Pecinta Alam

    Di tengah suasana politik kampus yang carut marut di era 60an, mahasiswa pecinta alam muncul untuk pertama kalinya sebagai bentuk kemuakan dan perlawanan terhadap situasi tersebut.

  Kelompok ini kemudian berkembang dan menyebar ke seluruh kampus kampus di tanah air, menjadi sebuah subkultur tersendiri dalam kehidupan kampus dan masyarakat, lengkap dengan attitude, simbol, dan atribut sebagai lambang identitas keberadaan mereka.

    Pada awal munculnya, nampaknya gerakan ini memang tidak dikhususkan pada suatu pakem konsep/ arah gerak tertentu, namun kemudian pada perkembangannya pecinta alam ini terkonsentrasi pada 2 hal, kelompok yang berkegiatan dialam bebas (adventure), dan kelompok yang berorientasi pada gerakan lingkungan (naturalis, environmentalis).

    Ada kelompok yang memang memilih untuk menjalani satu saja dari kedua hal tersebut, namun banyak juga yang tidak mampu memilih dan memisahkan diantara keduanya. Perdebatan mengenai arti pecinta alam ini masih terus saja berlangsung hingga saat ini.

    Menurut pendapat saya, jalan tengah dari perdebatan tak berujung tersebut sederhana saja, yaitu bagaimana kegiatan adventure dan petualangan di alam bebas tersebut mampu menumbuhkan rasa cinta terhadap alam sehingga kemudian muncul sosok sosok yang environmentalis/naturalis.

    Disini, kegiatan petualangan alam bebas tidak lagi menjadi sebuah tujuan dari organisasi organisasi pecinta alam, tetapi merupakan sebuah proses untuk mencapai pemahaman seorang pecinta alam dan lingkungan sejati. Petualangan adalah sarana pembelajaran, kegiatan kegiatan lingkungan adalah arahannya, dan pribadi pribadi pecinta alam dan lingkungan adalah hasil nyata dari organisasi organisasi pecinta alam.

    Namun membelokkan orientasi dari paradigma dan kebiasaan yang selama ini berkembang tentu bukanlah hal yang mudah. Perlu pikiran yang terbuka dan kesadaran untuk mewujudkannya. Pecinta alam telah berkembang menjadi sesuatu yang sangat kompleks, termasuk permasalahan yang bersifat lokal dan internal dari kelompok kelompok tersebut. 

*****

   Keberadaan para pecinta alam ini sendiri tak pernah tersentuh oleh studi studi sosial yang dapat menjelaskan secara gamblang keberadaan mereka.Tak pernah ada kajian yang menjelaskan apakah memang  subkultur ini berkembang menjadi sebuah perlawanan terhadap kemapanan disekeliling mereka (misalnya dalam dunia kampus dimana komunitas pecinta alam biasanya terbentuk), atau bahkan justru terjebak sebagai  pangsa pasar dari industri industri petualangan yang siap menyuapi komunitas ini dengan berbagai produk produk.

   Identitas yang nampak dari berbagai atribut, symbol, sikap, dan perilaku kehidupan mereka jelas menunjukkan bahwa mereka adalah ada, dan berbeda dari kelompok masyarakat lain.

    Jika melihat dari subkultur perlawanan seperti rastafara, punk, hippies, atau mungkin saminisme kita tahu bahwa untuk menanamkan nilai nilai dari subkultur perlawananan tersebut dibutuhkan waktu yang tidak sedikit. Bertahannya subkultur tersebut hingga kini tak lepas dari usaha usaha menjadikannya sebagai sebuah gaya hidup dengan segala atributnya, seperti musik, fashion, style, bahkan attitude, dan slogan.

    Mungkin suatu saat pecinta alam Indonesia akan berkembang kearah itu. Lihat saja baju flannel, jins lusuh, rambut gondrong, tas pinggang, sepatu boot untuk tracking, dll. That's the atribute, and the attitude, and that is pecinta alam..

*)tulisan ini pernah saya muat di redpoint-redpoint.blogspot.com,, dan ini saya tambahkan sedikit revisinya.


Comments

Popular posts from this blog

Resensi Film: Main Kayu ( Dokumenter tentang Ketidak adilan Kehutanan di Jawa)

Buku Buku Kaum Pecinta Alam

Satrio Piningit - Novel Grafis dari Sigit Pradityo