Phagia, Hasrat Menelan dan Meruntuhkan Otoritas.
Sebentuk
taji besar yang panjang dan runcing muncul dari mulut seorang bocah, menghujam
kepala seorang perempuan dewasa. Kepala itu putus dengan wajah
yang hancur. Darah muncrat di mana-mana. Tak lama, taji itu mewujud sebentuk
monster ayam raksasa, dan siap menelan calon korban berikutnya. Adegan
mengerikan ini tergambar dalam sebuah komik pendek berjudul Phagia, karya
Alzein P. Merdeka.
Jika
dibaca sekilas, mudah diketahui bahwa komik ini mengangkat isu kekerasan pada
anak, sebuah tema yang mungkin cukup langka diangkat dalam kisah-kisah komik
dalam negeri. Dalam sebuah sesi obrolan, Alzein sendiri mengakui bahwa ia
membuat komik ini untuk merespon satu kasus penelantaran anak yang terjadi sekitar
tahun 2015. Tapi komik adalah medium bahasa visual. Karena itu, ia memberikan keleluasaan
bagi pembaca untuk menafsirkan metafora metafora visual yang tergambar dalam
adegan, panel, teks, atau simbol lain yang lebih kecil. Jika kita melihat lagi metafora-metafora
yang muncul, dalam konteks yang lebih luas, kita dapat membaca bahwa komik ini
punya lapisan lain, wacana yang lain yang hendak diangkat.
Kisahnya
kurang lebih begini. Tersebutlah seorang anak bernama Jago Kecil. Ia adalah
seorang anak dari sepasang orangtua pemadat. Keluarga mereka pernah punya masa
lalu yang indah, tapi entah kenapa semua menghilang, dan orangtua si Jago Kecil
berubah menjadi jahat. Permintaan akan makanan dibalas tendangan. Makian
bergema di setiap kesempatan. Orangtua si Jago Kecil itu juga selalu teler
akibat obat-obatan.
Karena
ketidakpedulian orangtuanya, Jago Kecil hidup bersama teman imajinernya, sebuat
robot mainan yang dinamakan Ksatria Jago Merah. Di suatu hari, Jago Kecil yang
lapar mencari makanan di tempat sampah. Saat ia sedang berbahagia karena
menemukan makanan sisa, seekor ular muncul, menawarkan solusi bagi
permasalahannya. Ular itu berjanji untuk menyembuhkan “penyakit” yang diderita
orangtuanya.
Hubungan
anak dan orang tua dalam komik ini dapat dikaitkan dengan relasi antara negara
dan warganya. Jago Kecil adalah perwujudan masyarakat yang lemah, tak berdaya.
Untuk bertahan hidup, ia mengandalkan apa saja: menggali tempat sampah untuk
mendapatkan makanan, memiliki teman imajiner untuk berbagi cerita, sambil
mengkhayalkan kebahagiaan. Sementara kedua orangtua Jago Kecil, digambarkan
adalah sepasang penipu yang berusaha memperdayai orang-orang melalui
sms/telepon berhadiah palsu. Kedua orangtua ini adalah perwujudan negara, dan
mungkin begitulah gambaran negara yang ingin disampaikan komikus: sebuah
entitas yang berkuasa penuh, tak peduli, penuh kekerasan, dan tukang tipu.

Adegan-adegan dalam komik ini adalah metafora tentang bagaimana negara memperlakukan warganya seperti orangtua yang abusif pada anak-anaknya, dan rakyat, anak-anak yang lapar itu, dengan frustasi mencari-cari cara bertahan hingga hal-hal paling tidak masuk akal sekali pun, termasuk menerima tawaran dari ular yang kemudian berubah wujud menjadi perempuan berambut cepak a la Sinnead O'Connor.
Dalam deleted-scene (yang tak benar-benar di-delete) yang dimuat di edisi revisi, ditunjukkan lorong-lorong kegagalan, di mana banyak eksperimen eksperimen lain, sebelum eksperiman yang dilakukan pada si Jago Kecil, yang gagal. Semua kegagalan itu teronggok di sepanjang lorong. Ular itu adalah sebuah cita-cita utopis. Ia adalah ide-ide, yang tak tunduk pada otoritas. Ia memasuki pikiran kita, menawarkan jalan keluar melalui celah-celah keputusasaan kita. Ia menawarkan alternatif solusi untuk menyembuhkan penyakit kronik negara bernama kekerasan.

Dan
lorong kegagalan adalah deretan eksperimen akal budi yang tak berhasil
mendobrak kemapanan tatanan sosial. Meski seringkali gagal, ia selalu muncul
dan muncul lagi, dan memilih siapa pun secara acak untuk menerima kutukan akal
budi, disadari atau tidak. Ide-ide itu, ular itu, adalah iblis itu sendiri. Ia
punya akses pada sesuatu yang powerful, hasrat
yang tak pernah padam untuk terus mendobrak tatanan, yang digambarkan sebagai benda bulat besar aneh yang memberinya
beberapa tugas. Kita tak tahu motifnya, tapi dialah yang membuat cerita
bergerak, dan dalam konteks yang luas, kita dapat mengartikan bahwa hasrat
inilah yang membuat dunia terus berputar.
Garis-garis yang kasar, raw, dan sketchy, di komik ini membuat emosi yang muncul terasa lebih nyata dan jujur. Wujud-wujud monster yang begitu ekspresif saat membantai si orang-tua adalah lambang dari kemarahan yang meluap-luap. Phagia sendiri merupakan sebuah istilah medis yang mengacu pada tindakan “makan” atau “menelan”. Sebuah judul yang secara menggambarkan apa yang terjadi pada Jago Kecil dan kedua orangtuanya, sekaligus secara tepat menggambarkan wacana utama dalam komik ini: menelan dan meruntuhkan otoritas. Seperti yang tergambar dalam adegan penutup komik ini, ketika si Jago Kecil dan teman imajinernya memandang potret kedua orang tuanya sambil bertanya, sebuah pertanyaan yang menantang sekaligus sedih: "mereka berdua siapa sih?"
Comments
Post a Comment