Obrolan Tengah Malam, Wawancara Virtual dengan Aji Prasetyo
Tadi
malam (05/06/2015) saya sedang menulis review saya untuk komik Teroris Visual
karya Aji Prasetyo, sambil online di facebook.
Tak disangka, Mas Aji, sang penulis, juga sedang online. Maka segera saya
mencoba chatting dengannya. Sebuah
wawancara virtual, yang sebenarnya sudah saya rencanakan sejak saya membaca
komik Teroris Visual ini. Syukurlah, Mas Aji berkenan menjawab pertanyaan
pertanyaan saya. Saya ketik ulang demi kemudahan membacanya, sembari mendengarkan sebuah mixtape dangdut susunan Mar Galo di whiteboardjournal.com. Berikut petikannya:
PGB: Saya
AP: Aji Prasetyo
*****
PGB: Halo Mas Aji, saya Chandra. Saya udah
beli komik mas Aji nih, Teroris Visual. Keren...
AP: Halo Mas Chandra, makasih
apresiasinya. Boleh dong diupload capture
halaman favoritnya, sekalian ulasan seperlunya. Buat evaluasiku aja.
PGB: Di blogku ya mas, sek lagi tak rampungkan.
AP: Asoooy, makasih banget. Ntar aku share.
PGB: Betewe kalo
boleh saya bikin beberapa pertanyaan buat mas Aji boleh? Untuk blog juga sih..
AP: Silahkan, monggo kang..
PGB: Kritik dalam komik Mas Aji cukup
keras, sebenarnya siapa yang mas tuju? Maksud saya pangsa pasar pembacanya..
AP: Pangsa pasar yang kutuju adalah silent majority.
PGB: Bisa lebih spesifik mas, siapa sih silent majority itu?
AP: Mereka butuh kepastian bahwa apa
yang nurani mereka rasakan memang benar adanya. Mereka cuma butuh pemantaban,
bahwa yang mereka rasakan pun diresahkan oleh yang lain pula.
Misalnya saja,
seorang muslim yang dalam hati kecilnya sebenarnya kurang sreg dengan apa yang
diajarkan oleh seorang ustad. Tapi tidak punya keberanian untuk mengkritisinya.
Kalangan seperti ini butuh "ruang curhat" yang bebas dari intimidasi
dogmatis.
Tidak semua orang cukup beruntung
untuk ditakdirkan punya kumpulan yang kritis. Tapi semoga dengan sosmed dan
karya2 kritis seperti ini mereka sadar bahwa mereka "tidak sendirian"
PGB: Oke,, terpengaruh dari kehidupan sosial
di sekitar Malang ya mas? Atau Indonesia secara umum?
AP: Indonesia secara umum. Apa yang dilakukan FPI di masa2
kebesaran mereka, misalnya, biarpun terjadi di Jakarta, tapi oleh media
disebarkan ke seluruh pelosok Indonesia. Keresahan di daerah daerah pun terjadi
meskipun yang digebukin FPI cuma di Monas.
Malang cenderung kondusif. Banser
masih pegang kendali. FPI tidak bisa macam2 di sini. Tapi demi melihat ulah
mereka di tivi, marah lah kita.
PGB: Yap, got it..
AP: Kasus pemukulan jemaah paskah di Yogya misalnya, sangat menyakiti
perasaan kita2 yang di sini.
Termasuk kita marah pada penguasa. Mereka
abai pada sumpah mereka menjaga konstitusi, bahwa tiap warga negara berhak
beribadah sesuai dengan agamanya masing masing, adalah dijamin oleh UUD.
Dijamin oleh konstitusi. Tapi apa tindakan negara saat warga negaranya diserang
saat beribadah? Atau saat tempat ibadahnya ditutup paksa?
PGB:Radikal, kritis, adalah sesuatu yang
gampang dijual. Kaum muda cenderung mencari simbol simbol perlawanan, musik dan
mungkin komik salah satunya. Perlawanan bisa jadi berubah jadi komoditi. Dalam
konteks komik yang mas bikin, pendapat mas Aji bagaimana?
AP: Komoditi memang menggiurkan.
Tapi jika dijual oleh orang yang hatinya gak kesitu, hambar jadinya. Musik
reliji misalnya (grin emoticon).
Komikku diawali dengan upload gratis di sosmed. Misiku adalah
mengajak orang untuk marah bersama. Banyak hal yang layak kita gugat namun
melengang begitu saja. Saatnya untuk menumbuhkan kemarahan bersama tadi untuk
menjadi kekuatan perlawanan.
Jika ada yang menduga aku menjual
simbol perlawanan, well,,, bahkan
komik tidak mampu untuk menghidupiku. Itulah kenapa aku masih main musik dan
buka kedai kopi (grin emoticon).
Bahkan jika aku dapat pemasukan dari
berkomik misalnya, kugunakan untuk operasional pergerakan lokal. maksudnya aku
dan para followerku di sini.
PGB: Haha, saya gak menuduh lo mas…
AP: Jaman sekarang orang mau keluar duit cuma untuk relaksasi,
tidak lebih. Komikku dan gaya mbanyolku
mungkin bisa jadi media relaksasi, tapi, aku penganut pakem kuno. Leluhur kita
bilang, tontonan itu haruslah juga tuntunan. Maka itulah yang kulakukan dengan
komikku.
PGB: Oke lanjut, ini kan komik kedua setelah "Hidup Itu Indah"
AP: Yup
PGB: Nah, menurut mas Aji, adakah yang berubah, maksud saya
pembaca komik mas, setelah membaca komik komik mas Aji? Mas Aji pernah
mengukur gak, seberapa signifikan komik
mas Aji merubah mindset seseorang, dalam
hal ini pembaca komik mas pastinya?
AP: Jika di antara seribu pembaca komikku, hanya sepuluh orang
yang tercerahkan, buatku itu sudah patut disyukuri. Hahaha. Kita seperti
petani. Lakukan yang terbaik. Soal seberapa hasil panen kita terima dengan ilmu
ikhlas.
Tapi ijinkan aku berbagi kegembiraan
dengan sampeyan,...
PGB: Hahahaha… Aku gembira kok mas (tongue emoticon).
AP: Kasus Atik Bank Jatim sudah diekspos gila-gilaan sejak 2011.
Tapi baru diangkat oleh “Mata Najwa” sejak membaca komikku. Sekelompok
mahasiswa UIN di sebuah kota di Jatim tergerak membela kompleks lokalisasi yang
akan ditutup warga, karena mereka terinspirasi analogi dalam komikku. Aku
bersyukur, jalan komik ternyata bisa kugunakan dengan cukup efektif.
PGB: Oke, pertanyaan lanjutan nih. Untuk
genre komik yang begini (mas sebut komik opini, bener ga?) mas terpengaruh oleh
siapa?
AP: Seno Gumira yang menamainya komik opini. Ayu Utami lebih
suka dengan istilah "komik essay". Aku penggemar Dwi Koendoro. Namun
aku gak puas jika hanya mengomel dalam bentuk komik strip. Caraku meracau butuh
lahan yang lebih lebar, hehe.
PGB: Dwi Koendoro komikus Sawung kampret?
AP: Yup, dan Panji Koming yang rutin dimuat di Kompas itu
PGB: Oke,, pertanyaan kedua dari terakhir
ya mas.. Pendapat mas tentang komik Indonesia saat ini?
AP: Geliat sudah mulai muncul meskipun kita harus berdarah-darah
untuk bisa bersaing dalam pasar internasional. Industrinya masih dalam proses
pembentukan, namun aku optimis. Apalagi jika komikus kita tidak hanya fokus
rebutan pasar, namun lebih pada memenuhi kebutuhan segmen yang ia tuju.
Misalnya di Iran, karya yang
mendunia salah satunya adalah Persepolis karya Satrapi (Marjan Satrapi; pen.). Itu bukan komik, tapi lebih
tepatnya graphic novel. Untuk pasar
komik dalam negerinya, aku yakin lebih banyak yang tergila-gila pada manga atau marvel (Marvel Comic; pen). Tapi karya Satrapi mendunia,
karena dia tidak berusaha berebut pasar, melainkan fokus pada pencapaian.
Ambisi ini yang harus dimiliki seniman kita. Pasar ntar pasti ngikut sendiri.
Satu lagi, karya seniman kita
sebaiknya merespon masalah bangsanya. Bukannya abai dan lantas hanya fokus pada
bisnisnya doing. Itu yang membuat kita cuma suka mengekor tren, bukan
menciptakannya.
PGB: Berarti mas ga percaya: "seni
untuk seni" ? Duh nambah pertanyaan, hehehe
AP: Bukan tidak percaya, tapi lebih memilih tidak ikut
mengamininya (grin emoticon)
PGB:
Oke, mas,,, Abis ini aku kirim link
blogku ya.. Satu kalimat dong untuk blogku.
AP: Jiah,...sudah jadi?? Tak bacanya
dulu ya...
PGB:
Bla bla bla (off the record)
AP: Bla bla bla (off the record)
PGB: Betewe aku tuh pernah ketemu mas aji
dulu, tahun 2013 nek ga salah. Di Surabaya, waktu event komik di Mall Tunjungan Plaza, cuma ga sempet foto2..hehe.. Betewe
thanks ya mas untuk wawancaranya.
AP: Waah, maaf jika aku lupa kalo kita pernah ketemu. Oke bro,
kapanpun deh. Aku makasih juga untuk reviewmu yang-meskipun belum kelar kubaca,
sungguh keren.
PGB: Sama sama mas... Terimakasih banyak
jugaa...
****
Comments
Post a Comment