Sedikit Catatan Soal Penerbitan Munnu: Bocah dari Kashmir
Waktu merayakan terbitnya Tibet, komik bikinan Mark Hendriks yang kami terbitkan di akhir 2020 lalu, Caca, penerjemah Tibet meminjamiku komik berjudul Munnu: A Boy from Kashmir bikinan komikus asal Kashmir bernama Malik Sajad. Dia bilang dengan nada serius: “lu harus baca komik ini!”. Aku, tentu saja tiada akan pernah menolak tawaran untuk dipinjamkan sebuah komik. Tiada sangka bahwa apa yang kubaca itu kemudian membuatku tercekat.
Komik yang boleh dikata ialah autobiokomik
ini begitu kelam. Ianya mengisahkan kehidupan seorang bocah bernama Munnu —yang
ialah representasi daripada Malik Sajad sendiri, di Kashmir, kampung
halamannya, sebuah wilayah yang mengalami konflik berkepanjangan. Seorang bocah
kecil yang polos terpaksa menjalani hidup yang keras. Kerusuhan dan kematian bukan
hanya berita, tapi pengalaman sehari-hari. Sekolah yang dibubarkan, terkena gas
air mata saat diajak berdemo membebaskan kepala sekolah yang ditahan tentara, razia² di rumah-rumah warga, kematian tetangga, teman, dan sanak famili, jerit tangis
ibu-ibu para martir, upacara wepemakaman umum, segala macam hal mengerikan terjadi, tapi
Munnu, dengan keluguan seorang anak kecil, tetap fokus pada apa yang
disukainya: menggambar.
Beranjak dewasa, konflik dan kekerasan itu
tiada pula berhenti, namun ianya mulai paham apa yang sebenarnya terjadi, dan
ia marah. Marah pada kenyataan, marah pada respon orang-orang terhadap situasi
Kashmir. Baginya, apa yang terjadi di Kashmir bukanlah sengketa, tapi
penjajahan. Tuhan dan sejarawan, katanya, terlalu kejam karena tak menambahkan
akhir yang bahagia pada cerita Kashmir.
Sepanjang tiga ratusan lebih halaman komik
ini dipenuhi hasil pengamatan akan peristiwa-peristiwa yang mengiris hati, yang
membuatmu sedih sekaligus marah. Bahkan pada momen-momen lucu yang terjadi
karena keluguan seorang bocah, atau karena sebuah situasi yang “wagu” bisa
tetap membuatmu miris dan meringis.
Cuplikan panel di bawah adalah salah satu
favoritku, diambil dari halaman 136. Itu adalah adegan ketika Bilal, kakak
tertua Munnu, gagal lulus ujian akhir di sekolah teknik. Papa, ayah mereka,
naik pitam melihat kenyataan bahwa buku catatan Bilal penuh dengan puisi,
alih-alih catatan mengenai pelajaran sekolah. Pantas saja gagal ujian, begitu
mungkin pikirnya.
Pembaca modern mungkin akan bilang ini adalah
kultur kekerasan dalam keluarga. Tapi kondisi Kashmir membuat orang-orang terjebak
pada situasi yang mengharuskan seseorang (orang tua Munnu, dalam hal ini)
berpikir praktis. Meski ia juga adalah seorang seniman, tapi nampaknya ia cukup
pesimis dengan profesi itu. Ia mengatakan hal serupa di halaman-halaman awal
saat Munnu menunjukkan antusiasme dan bakatnya dalam menggambar. Siapa yang
akan membeli karya seni di tanah penuh peperangan? Siapa yang masih akan baca puisi? Lebih baik
jadi teknisi, atau dokter. Lebih realistis untuk bertahan hidup. Tapi Munnu
bertahan. Dan komik ini adalah bukti keteguhan hatinya akan kecintaannya pada
menggambar.
“Awalnya kupikir aku akan menunggu sepuluh
tahun lagi [sebelum menuliskan kisah tentang Kashmir], tapi kemudian aku sadar
bahwa hidup begitu rentan dan kita mungkin nggak akan hidup dalam waktu yang
lama. Maka aku duduk dan mulai menggambar, menceritakan segalanya dengan sudut
pandangan seorang saksi, tanpa berkomentar apapun.” Begitu kata Malik Sajad
dalam sebuah artikel di warscapes.com.[1]
Menurut saya, apa yang diceritakan Malik Sajad
dalam Munnu ini bukan sekedar hasil
observasinya sebagai seorang saksi, tapi juga pengalamannya sebagai korban,
karena ia tidak hanya menyaksikan, tapi juga mengalami segala konflik dan
kekerasan itu. Dan, ia masih tinggal di Kashmir sampai saat ini. Oleh karena itu, segala pernyataan dalam komik ini menempatkannya
pada level yang lebih ketimbang komik-komik sejenis, katakanlah Maus dari Art Spiegelman, Persepolis dari Marjane Satrapi, atau
komik-komik Joe Sacco.
Diterbitkan pertama kali di Inggris tahun
2015, karyanya, dan tentu pesannya tentang kebebasan Kashmir, telah dan akan
menjangkau banyak, dan lebih banyak orang. Itu pula alasan kami, Rotasi Books,
menerjemahkan dan menerbitkannya ke dalam Bahasa Indonesia.
Oh, ada satu cerita lagi soal pemilihan
sampul komik Munnu yang kami terbitkan ini.
Waktu desainer kami, Yoga, menawarkan satu
gambar yang cukup dramatis sebagai desain sampul, aku langsung setuju. Itu adalah gambar sekelompok masyarakat
Kashmir yang menguburkan seorang martir yang terbunuh di suatu malam. Gambar
itu diambil dari sebuah panel dalam komik ini. Menurutku gambar itu sangat
tepat untuk mewakili kemarahan dan situasi yang digambarkan dalam komik ini. Aku
kemudian mengirimkan desain tersebut ke HarperCollins (pemilik lisensi
penerbitan komik ini) dan Malik Sajad.
Tapi Malik Sajad bilang, dia tidak ingin
gambar itu jadi desain sampul komik Munnu. Dia tidak ingin kemarahan dan
suasana kelam itu menjadi gambaran bagi komiknya. Aku, terus terang saja, agak
terkejut mendengar itu, mengingat bagaimana impresiku setelah membaca komik
ini. Alih-alih, Malik Sajad ingin komiknya menjadi sebuah harapan. Harapan bagi
masa depan Kashmir yang lebih cerah, lebih bahagia. Oleh karenanya, kami
kemudian, atas sarannya, memilih sebuah gambar yang lebih menggambarkan itu.
Sekelompok orang yang berdoa di pemakaman Ajaz.
Maka kemudian, jadilah desain sampul
seperti yang kita lihat sekarang.
***
Catatan lain
Sejak menerbitkan Walking dari Zuo Ma sampai yang terakhir, Tetanggaku Orang
Indonesia bikinan Emmanuel Lemaire, Rotasi Books memang tidak pernah menuliskan
pengantar, atau meminta orang lain menuliskan pengantar, untuk kemudian
diletakkan pada cetakan buku komiknya. Rasa2nya kok kayak tidak
cukup percaya bahwa komik sebagai sebuah medium itu sudah cukup, sampai perlu
diantar2kan pakai sebuah teks (maksudku adalah huruf² tanpa gambar). Kecuali mungkin mau bikin pengantar
dengan menggunakan komik juga. Jadi catatan-catatan penerbitan semacam ini,
yang isinya pengennya adalah bagaimana pertemuan kami dengan sebuah komik, kesan
dan pembacaan kami atasnya[2],
dan mengapa itu kemudian dipilih untuk diterbitkan, juga sedikit hal-hal teknis
dan proses-proses dibalik penerbitannya, sengaja ditulis di platform yang lain,
yang terpisah dengan buku komiknya. Biarlah buku komiknya utuh sebagai komik
saja.
[1] http://www.warscapes.com/reviews/malik-sajads-munnu-graphic-novel-kashmir
[2] sebenarnya ada banyak hal lain yang menurutku cukup seru untuk dibahas khususnya untuk komik Munnu ini, misalnya soal simbol-simbol dan metafora (dan teriomorfisme) yang dia gunakan, referensi-referensi budaya pop yang muncul, dan banyak hal dari aspek visual lainnya, tapi kalau kutulis rasa2nya jadi agak terlalu menjelas-jelaskan dan agak takut dengan “konflik kepentingan” mengingat aku adalah bagian dari Rotasi Books.
NB: aku membaca banyak ulasan dan catatan² pembaca terhadap komik ini, dan salah satu yang paling menarik adalah catatan seorang teman (namanya Fiqih, pengamat komik nasional) yang menafsirkan panel² akhir komik ini (perempuan yang diperkosa 3 laki² di sebuah bemo), yang menurutku jeli sekali. Menurutnya perempuan itu menyimbolkan Kashmir, dan 3 laki² bajingan itu adalah negara² yang saling memperebutkan Kashmir.
Comments
Post a Comment