CERITA DARI TIMUR, SEBUAH REVIEW




Scripta manen, yang tertulis akan abadi. Saya selalu suka mengawali sebuah tulisan dengan kutipan tersebut, karena dengan tulisanlah sejarah manusia dimulai. Sebelum manusia mengenal tulisan, kita menyebutnya dengan masa pra-sejarah.

Omong omong mengenai tulisan, khususnya penerbitan buku, di dunia kepecintaalaman di tanah air, nampaknya memang tak terlalu membanggakan. Tidak cukup banyak buku, utamanya kisah perjalanan, yang diterbitkan oleh penggiat/pencinta alam di Indonesia. Sepanjang pengetahuan saya, hanya beberapa kelompok pencinta alam sajalah yang telah menerbitkan kisah kisah perjalanannya dalam sebuah buku. Menurut perkiraan saya, jumlah buku dengan tema pecinta alam ini hanyalah berkisar 40an judul saja. Yang paling diingat misalnya, buku 40 tahun Mapala UI, Jejak Mapala di Jalan Alam (2005), kemudian buku buku perjalanan Mahitala: Sudirman Range Trail: Lanskap Misterius di Indonesia Timur (2010), Pucuk Es di Ujung Dunia: Pendakian 7 Puncak Benua (2011), dan  Menapak Tiang Langit (2012), beberapa buku catatan ekspedisi dari Wanadri, lalu ada Perempuan Merah Putih, Kisah Pendakian ke Puncak Elbrus karya Nungky Irma Nurmala. Di luar kelompok kelompok itu, masih ada biografi Norman Edwin, Sang Beruang Gunung, juga catatan perjalanannya, Sahabat Sang Alam, yang merupakan kumpulan tulisannya di beberapa media cetak, juga biografi Sabar Gorky, pemanjat dari Solo yang hanya memiliki satu kaki. Selebihnya adalah buku buku teknis, lebih sering panduan mendaki gunung bagi pemula, juga ada tentang penelusuran gua dan panjat tebing, dan 1 buku tentang arung jeram berjudul Arung Jeram Menelusuri Tantangan Membangun Kematangan, termasuk juga novel fiksi 5 cm karya Donny Dhirgantoro dan Bilangan Fu karya Ayu Utami.

Terbitnya buku "Cerita Dari Timur" oleh kawan kawan Mapala Silvagama ini adalah suatu hal yang perlu diapresiasi, mengingat hal yang saya sebutkan di atas. Tentu saja boleh disebutkan bahwa saya agak sedikit membanggakan buku ini karena saya pernah dan masih tercatat sebagai anggota dalam kelompok ini, tapi tentu bukan itu saja alasannya saya menuliskan sedikit review ini. Utamanya, saya adalah "kolektor buku buku kepecintaalaman wanna be", dan beberapa buku lain sudah pernah saya bahas kok. Jadi tenang saja, saya akan berusaha objektif dalam penilaian ini. (walaupun konsep objektivitas adalah sesuatu yang perlu dipertanyakan (?)).

Alasan mengapa buku ini ditulis

Buku ini merupakan sebuah catatan perjalanan "Ekspedisi Taman Nasional" yang dilakukan Mapala Silvagama di tahun 2014, yang salah satu tujuannya, di dalam prolognya, ditulis: mengajak para pembaca untuk lebih mengenal taman nasional dan dinamikanya sehingga pada akhirnya memunculkan kepedulian dari kita bersama".

Klise? Mungkin saja. Tapi bisa jadi tidak. Dunia kehutanan, punya segudang regulasi, juga kompleksitas permasalahan, yang mungkin tidak dipahami oleh banyak orang. Di sisi lain, kegiatan wisata alam, seiring dengan perkembangan informasi di media cetak, elektronik, dan sosial media serta program program pengembangan pariwisita dari pemerintah, telah menjadi sebuah tren, yang cenderung berkembang ke arah mass tourism. Lalu di mana masalahnya?

Begini, jika sebuah foto lokasi yang apik dipublikasikan di media, maka dengan segera tempat itu dijadikan destinasi wisata oleh para wisatawan. Apa jadinya bila kawasan itu adalah sebuah kawasan yang dilindungi, katakanlah taman nasional, sementara tak ada informasi yang cukup tentang berbagai aturan main di kawasan tersebut? Disinilah peran informasi, dalam hal ini adalah buku ini, menjadi penting. Seperti dikatakan dalam prolognya "memunculkan kepedulian" dari para pembaca, yang mungkin berpotensi untuk menjadi pengunjung kawasan tersebut, walaupun seseorang dapat berkata turis tetaplah turis, (ingat kasus rusaknya taman bunga di Gunung Kidul, lalu coretan seorang seniman grafiti pada batu di sebuah pantai, untungnya itu bukan di kawasan konservasi), tapi usaha tetaplah usaha. Kesadaran bukanlah hal yang dapat tumbuh dengan instan. Ia perlu pupuk berupa ilmu dan pengetahuan. Jadi, setelah penjelasan panjang lebar ini, alasan tadi cukup untuk tidak dianggap klise.

Lalu juga, saya pikir buku ini juga cukup menjawab sebuah pertanyaan basi legendaris yang perdebatan tentangnya tak pernah selesai, yaitu tentang bagaimanakah seorang pencinta alam harus berkegiatan, terkait makna dan definisi dari kata, dan juga identitas "pencinta alam" yang disandangnya. Apakah menjadi pencinta alam adalah menjadi petualang murni dengan mendaki gunung gunung tinggi, memanjati tebing tebing dan menelusuri goa goa yang dalam, ataukah ia harus menjadi seorang konservasionis/naturalist/ekolog yang berkutat di bidang keilmuan ataupun aktivisme lingkungan (yang terakhir sekarang nampaknya lebih banyak diambil alih oleh musisi  musisi yang  jualan kaos mahal banget itu berjiwa konservasionis).

Buku ini membuktikan bahwa tampaknya dua (atau tiga?) hal tersebut bukanlah sesuatu yang perlu dipertentangkan, bahkan bisa dijalani berbarengan. Kamu bisa bersenang senang memanjat tebing atau menelusuri goa tanpa melupakan kode etik yang dipegang oleh semua pencinta alam, bahkan sambil membuat sebuah penelitian yang sedikit banyak mungkin ikut menyumbang dunia keilmuan (dalam hal ini kehutanan) di tanah air, atau sambil memotret sebuah realita sosial di kawasan dimana kegiatan ini diadakan. Syukur syukur hasil pengamatannya bisa menjadi rekomendasi dalam pengambilan kebijakan mengenai pengelolaan kawasan tersebut. Kalaupun tidak toh juga tidak apa apa.

Isi buku (mengandung spoiler, tapi dikit sih)

Buku ini terdiri dari 4 bab serta prolog dan epilog, di mana masing masing bab menceritakan cerita perjalanan di masing masing taman nasional yang dijelajahi. Jadi ada 4 taman nasional, yang merupakan 4 taman nasional pertama dari rangkaian ekspedisi ini. Nampaknya juga, masing masing bab ditulis oleh penulis yang berbeda beda (ada 4 penulis yang tercantum di halaman judul, FYI), terlihat dari berbedanya gaya bahasa yang digunakan. Karena spoiler biasanya tidak disukai, jadi lebih baik pembahasan isi buku ini saya batalkan bikin singkat saja. Jika ada ketidaksesuaian dengan pendapat anda, perdebatan dan diskusi tentang ini bisa dilanjutkan di acara mabuk-mabukan kolom komentar.

Bab 1 Penghuni Kepulauan Rempah, menceritakan tentang perjalanan mereka di Taman Nasional Aketejawe Lolobata, sebuah taman nasional yang terletak di Kepulauan Halmahera. Sebuah deskripsi yang lengkap mengenai perjalanan mengamati satwa dan menelusuri goa, ditambah dengan peta goa bergrade 3b yang bisa menjadi referensi untuk penelusur berikutnya.

Bab 2 Karst Kerajaan Kupu Kupu, adalah bab dengan gaya bahasa yang menurut saya paling unik, pilihan kata yang agak agak puitis khas selebtwit dengan banyaknya perumpamaan perumpamaan yang dipakai, seperti tebing dan kolong kerajaan kupu kupu, dll. Bab ini menceritakan kisah perjalanan mereka memanjati dinding dinding tebing karst dan menelusuri kedalaman goa goa di kawasan Maros, yang termasuk di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

Bab 3 Detak Kehidupan di Sudut Negeri, menurut saya berada di nomor 1 untuk kedalaman pembahasan terhadap isu yang ditawarkan. Menikmati kalimat demi kalimat yang mengalir, data data yang disajikan, juga opini2 dan kesimpulan yang diambil dari sudut pandang penulis terhadap pengelolaan Taman Nasional Wasur ini membuat saya cukup terkesan. Hanya saja, foto dan gambar pada bab ini agak kalah dengan bab bab lainnya.

Bab 4 Geliat Kehidupan, catatan perjalanan di Taman Nasional Lore Lindu, merupakan bab yang foto foto hasil pengamatannya paling banyak dibanding bab lain. Cukup menyenangkan membaca deskripsi yang lengkap tentang sejarah kawasan, amatan tentang keadaan sosial masyarakat, disandingkan dengan foto foto satwa hasil pengamatan yang cantik.

Cukup kan untuk membuat kalian semua ingin membantingnya membelinya?

Terakhir

Poin utama yang saya sukai dari buku ini adalah narasi yang segar, lay-out/tata letak yang enak dilihat, ilustrasi dan foto yang menarik, serta data data yang disajikan. Melihat daftar pustaka di halaman belakang, ada cukup banyak referensi yang dijadikan acuan. Cukup informatiflah buat kamu yang ingin terlihat sedikit berotak.

Beberapa kekurangan, yang tidak saya sukai, adalah ucapan terimakasih yang diletakkan di halaman halaman awal (terlihat seperti halaman persembahan pada skripsi mahasiswa). Jika suatu saat buku ini diterbitkan lagi dalam edisi revisi, saya pikir ada baiknya ucapan terimakasih tersebut diletakkan di halaman belakang. Lalu juga foto foto tim ekspedisi di halaman belakang, yang nampak seperti laporan praktikum dan sejenisnya, serta tidak adanya profil penulis. Saya pikir lebih baik untuk menampilkan tim ekspedisi dalam bentuk profil singkat dan foto, juga termasuk profil penulis.


Overall, saya kasi nilai 8,5 dari 10 untuk buku ini. Ditunggu buku buku selanjutnya.

Comments

Popular posts from this blog

Sedikit Catatan Soal Penerbitan Munnu: Bocah dari Kashmir

Buku Buku Kaum Pecinta Alam

Resensi Film: Main Kayu ( Dokumenter tentang Ketidak adilan Kehutanan di Jawa)