BEASILVA, USAHA USAHA MERAYAKAN IDENTITAS

Sebuah perdebatan seru terjadi di grup whatsapp Mapala Silvagama di suatu pagi di pertengahan Agustus 2016. Sebuah perdebatan tentang sebuah kegiatan yang diadakan oleh teman teman mapala di kampus, yang kemudian menjadi penuh pertanyaan, sanggahan, keluhan, nasehat, petuah, dan masukan di sana sini.

Begitulah suasana di Mapala Silvagama, selalu penuh diskusi dan hiruk pikuk bahkan di dalam grup whatsapp. Tiap tiap anggota, bahkan yang sudah lulus dari kampus bertahun tahun yang lalu, merasa wajib untuk terlibat menyumbang –setidaknya komentar– dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan di kampus. Mapala Silvagama, bagaimanapun, pernah dan telah menjadi bagian dari hidup kita dengan segala baik buruknya. Tak peduli entah jadi apa kita sekarang, setidaknya 3-5 tahun kehidupan di kampus telah menjadi begitu berkesan karena aktivitas kita di Mapala, dan menahbiskan kita semua sebagai sebuah keluarga, sebuah persaudaraan tanpa ikatan darah, sebuah persaudaraan yang dibentuk dari ikatan tali temali dan tenda tenda. Silvagama telah menjadi sebuah identitas, yang kemudian kita rayakan dengan cara masing masing.

Diskusi itu kemudian berkembang, melebar, dan kemudian hilang ditelan kesibukan masing masing anggota grup.

Membentuk Fund Raising

Adalah sebuah ide yang telah bertahun tahun terpendam, bahwa saya dan sekelompok teman yang seangkatan pada waktu itu, circa 2007-2010, berkeinginan membentuk sebuah kolektif pendanaan yang mandiri untuk menunjang kegiatan organisasi, setelah kami menyelesaikan pendidikan dan mulai menghasilkan uang dengan pekerjaannya masing masing.

Ide ini sebenarnya didasari atas keadaan di mana sulitnya kami pada waktu itu, menjalankan kegiatan kegiatan kemapalaan, karena terbatasnya pendanaan. Jejaring untuk sponsorship dan donasi dari funding funding juga belum terbuka lebar, jika tidak ingin dikatakan tertutup sama sekali. Satu satunya yang bisa diandalkan adalah sumbangan sumbangan dari anggota anggota yang telah lulus dan bekerja, yang masih punya sedikit kepedulian terhadap kegiatan yang kami lakukan.

Namun ketika telah lulus dan bekerja, ternyata kehidupan pribadi tidak berjalan semudah yang dikira, dan ide itu sempat menguap entah berapa lama. Semua telah tenggelam dalam hidup dan problemnya masing masing, meski kami masih sering menjalin kontak untuk sekedar mengobrol mengingat kenangan masa lalu atau merencanakan bisnis bersama, yang kemudian lagi lagi, terhenti sebatas wacana.

Di bulan Oktober 2015, kurang lebih tiga tahun sejak kelulusanku, aku bertemu Danang dan Ableh di Bogor, dan ide untuk membuat fund raising ini kembali terlontar, namun kali ini idenya agak sedikit berubah. Fokusnya kali ini adalah untuk membuat sebuah beasiswa untuk anggota mapala yang masih berada di kampus.

Hal tersebut bukanlah tanpa alasan. Suasana di kampus saat ini cukup kondusif untuk menjalankan kegiatan kegiatan kemapalaan, dan peluang ke arah sponsorship jauh lebih terbuka ketimbang kondisi beberapa tahun yang lalu (kepengurusan kami saat itu adalah kondisi di mana Mapala Silvagama dinonaktifkan dari statusnya sebagai organisasi mahasiswa). Teman teman di kampus juga semakin kreatif untuk membuat jenis jenis kegiatan yang mudah dijual.

Yang menjadi permasalahan sekarang justru adalah masa kuliah yang singkat, ditambah dengan naiknya biaya kuliah dengan sangat signifikan. Sebagai mantan mahasiswa dan berasal dari keluarga miskin, tentu saja saya tahu betul bagaimana rasanya tidak punya duit, sedangkan kegiatan kegiatan mapala serta perkuliahan membutuhkan duit yang tidak sedikit.

Hasil diskusi kami pada waktu itu – tentu saja tidak dalam keadaan mabuk anggur merah dan ciu– menyimpulkan bahwa hal tersebutlah yang akan menjadi kendala utama dalam menjalankan organisasi mapala. Jika bahkan untuk kuliah saja tidak punya cukup duit, lalu bagaimana bisa berkegiatan di mapala? Sebab itu kami sepakat mengarahkan penggalangan dana ini dalam bentuk bantuan pendidikan kepada anggota yang berdedikasi kepada organisasi. Maka tercetuslah BeaSilva.


Sebuah nama telah dibuat, lalu apa yang bisa dilakukan oleh sebuah nama tersebut? Kami mulai menghubungi teman teman dan menyodorkan konsep tentang penggalangan dana beasiswa mandiri dari anggota (yang sudah lulus dan bekerja) untuk anggota (yang masih di kampus). Puji Tuhan, beberapa teman menyambut ide ini dengan semangat yang sama.  Maka pada semester pertama di 2016, kami telah berhasil menyalurkan program beasiswa tersebut untuk dua orang anggota di kampus. Selanjutnya di semester kedua di 2016, kami menambah jumlah penerima menjadi tiga orang. Sedikit memang, dibandingkan jumlah anggota yang masih aktif di kampus, tapi setidaknya ini mulai berjalan.

Dok. BeaSilva

Perkembangan jumlah donator juga ternyata tidak secepat yang kami kira. Peningkatan jumlahnya sangat lambat, seperti laju siput di lantai yang licin dengan beban seberat 20 kg di badannya, tapi semangat adalah semangat. You can’t kill the spirit // She is like a mountain // Old and strong // she goes on and on and on *

Dan, well, saat tulisan ini dibuat, BeaSilva sudah memasuki periode 3, di mana kami mengubah sedikit pola pendanaan, dari hanya bantuan untuk membayar uang semesteran, sekarang ditambah dengan bantuan dana untuk proyek penelitian atau skripsi. Dapatkah kami bertahan?

Merayakan Identitas

Mengapa harus berbentuk beasiswa? Bukankah sudah cukup banyak beasiswa lain yang diadakan baik oleh negara, kampus, atau yayasan dan korporasi? Tentu akan ada pertanyaan pertanyaan seperti itu.

Baiklah, begini:

Tidak semua orang dapat mengerti mapala, kegiatan kegiatannya, gaya hidupnya, dan banyak hal lain yang spesifik hanya ada di mapala. Seseorang di mapala bisa jadi punya potensi yang besar, tapi karena aktivitas yang padat pada suatu periode kepengurusan organisasi, kegiatan akademisnya jadi buruk. Atau bisa terjadi hal lain, ia memang biasa biasa saja di akademik, tapi punya kemampuan lain di kegiatan kemapalaan, yang tidak mungkin dihargai dalam sistem pendidikan kampus. Apa yang terjadi pada mahasiswa ini ketika mengajukan beasiswa pada lembaga beasiswa biasa, yang standarnya hanya kegiatan akademik, katakanlah IPK? Sudah pasti ditolak kan?

Nah, untuk hal hal itulah BeaSilva hadir. Kita, semua donator pernah dan masih menjadi anggota mapala (walaupun sudah tidak beraktivitas di kampus). Kita semua paham dan mungkin pernah berada di posisi itu. Oleh karena itulah, kita menyalurkan bantuan dana pendidikan yang tidak menganggap bahwa prestasi akademik adalah hal yang utama, karena ada banyak hal lain yang bisa jadi indikator penilaian untuk membantu kawan kawan kita di kampus.

Kita mapala, mengerti bagaimana mapala bekerja, dan untuk itu kita hadir. Menjaga dan merayakan identitas kita sebagai mapala. Beer, Boots, Brotherhood, and BeaSilva, huh?!!

Mewadahi Ide, Memperkuat Jejaring: Tantangan BeaSilva ke Depan

Sebenarnya, ada tujuan lain mengapa BeaSilva ini terbentuk, yaitu untuk mewadahi sekaligus sumbangan ide ide dan materi dari anggota mapala di luar kampus (ALB), serta memperkuat jejaring antar ALB dalam hal hal di luar konteks kegiatan mapala di kampus.

Dari prolog yang kutuliskan di atas, aku sebenarnya ingin menggambarkan bagaimana sebenarnya kondisi ALB  hingga kini. Setiap anggota sebenarnya memiliki keinginan untuk berkontribusi langsung dan tidak langsung untuk kegiatan mapala di kampus. Tapi saat ini, hingga saat ini, seringkali yang terjadi adalah begitu banyaknya tawaran tawaran bantuan itu bersifat sporadis, terpecah pecah, dan bersifat sangat personal, tanpa sebuah pengelolaan organisasi yang lebih rapi.

Bentuk bentuk penawaran bantuan tersebut, jika berupa ide , tidak menjadi satu konsep yang utuh, yang kadang kala justru membingungkan anggota anggota di kampus untuk menentukan skala prioritas yang mana yang harus diambil dan yang mana yang akan ditunda terlebih dahulu.
Sedangkan jika dalam bentuk materi, katakanlah uang, hal ini bersifat sangat personal. Anggota yang mampu dan loyal, serta mudah diakses, kemudian akan dengan mudah ditodong, katakanlah begitu, secara terus menerus untuk setiap jenis kegiatan yang ada di kampus. Sedangkan yang tidak terjangkau, justru tidak pernah tersentuh, meskipun kadang kondisinya lebih mampu dan loyal. Hal ini tentu bukan sesuatu yang baik.

Seorang senior pernah mengatakan pada saya secara pribadi, dan saya sangat menyadarinya, bahwa kondisi keuangan masing masing anggota tidaklah sama satu dengan yang lain, dan tidak juga selalu dalam kondisi yang konstan atau meningkat. Bisa saja terjadi sebaliknya, di mana ALB yang loyal tersebut sedang terpuruk kondisi keuangannya, sedangkan ia termasuk dalam kategori ALB yang mudah diakses dan hampir selalu ditodong untuk setiap kegiatan. Bayangkan apa yang kemudian terjadi.

Lagipula, biasanya sumbangan personal tidak selalu diikuti dengan ide ide tentang kegiatan yang dijalankan. Maksudnya begini, begitu kita menyumbangkan uang secara personal, kita tidak akan utak utik bentuk kegiatan yang dijalankan, betul kan?

Lalu mengapa kita tidak mengorganisasi bentuk bentuk ide dan uang tersebut dalam satu wadah, BeaSilva ini? Dengan sejumlah uang, itu bisa menjadi modal dasar untuk kita untuk ikut berbagi ide dan masukan mengenai kegiatan yang akan dijalankan oleh anggota anggota di kampus. Tapi ini bukan menyetir, lebih tepatnya adalah memoles ide tersebut, kemudian memodalinya dengan pendanaan awal. Ide menarik bukan? Anggota di kampus diharapkan tak lagi datang pada ALB ALB yang itu itu saja, BeaSilva akan menangani ini. Katakanlah ini semacam yayasan/perkumpulan alumni.

Di luar itu, BeaSilva, didukung oleh ALB, dapat pula menjalankan berbagai kegiatan lain, yang tidak ada hubungan langsung dengan kegiatan anggota di kampus, katakanlah sebuah usaha dengan orientasi profit, sebagai bentuk aktualisasi diri para ALB.

Untuk yang terakhir ini, maksud saya sebuah usaha dengan orientasi profit, mungkin masih agak jauh. Tapi begini: saya mengunjungi kampus beberapa waktu yang lalu, dan mendapati cukup banyak anggota silva di kampus, terutama yang sudah semester akhir dan hampir lulus, bekerja sebagai penjaga toko perlengkapan outdoor. Saya tidak bilang ini sesuatu yang buruk, justru saya salut untuk kemandirian mereka, karena saya dan kawan kawan dulu juga bekerja serabutan sebagai operator outbond dan arung jeram serta mengamen (khusus lagu Iwan Fals :p). Tapi satu hal, toko itu dijalankan oleh Mapala yang bukan Silvagama. Tapi masalahnya bukan itu juga, kan setiap orang bebas berusaha dan memanfaatkan peluang. Tapipak, mengapa bukan kita yang menyediakan tempat usaha –katakanlah begitu– , untuk kawan kawan kita di kampus (bahkan tidak sebatas pada kawan kawan yang masih di kampus karena kenyataannya tidak setiap anggota yang lulus kemudian mendapatkan pekerjaan yang bagus), sebagai tempat transit sebelum mereka benar benar terjun ke dunia kerja, sembari juga kita menikmati/berusaha membuat profit untuk diri kita sendiri?

Saya kira kita punya kekuatan dan potensi untuk itu, didasari dengan jejaring kuat yang sudah kita bangun sejak di kampus dulu. Saya tidak hendak menjadi seseorang yang sempit, dan tidak bertujuan untuk membangun semacam politik identitas atau apalah dengan mementingkan golongan sendiri atau semacam itu, tapipak, dapatkah kita manfaatkan itu, lakukan itu, seperti sebuah slogan klise yanng nampaknya masih relevan: dari kita, oleh kita, dan untuk kita? (Chandra Agusta, Januari 2017)



*Original words by Naomi Littlebear Morena.


Comments

Popular posts from this blog

Sedikit Catatan Soal Penerbitan Munnu: Bocah dari Kashmir

Buku Buku Kaum Pecinta Alam

Resensi Film: Main Kayu ( Dokumenter tentang Ketidak adilan Kehutanan di Jawa)