USAHA MENULIS
Pict: Free As A Gun - Eko Nugroho |
DUNIA ini
penuh hal hal menjengkelkan, dan menulis adalah salah satu aktivitas terbaik
untuk mempercepat datangnya kejengkelan itu.
Sebagai
seseorang yang tertarik ingin menulis cerita cerita pendek, kamu harus berusaha
keras untuk mencoba menulis dengan baik, benar, dan menarik. Kemudian kau harus
memikirkan ide ide yang baru, dan atau mengolah ide ide lama menjadi sesuatu
yang, katakanlah, mencengangkan orang orang. Kau juga harus memikirkan sebuah
ciri khusus untuk tulisanmu agar tak dianggap peniru atau plagiator. Karena itu
kau harus berguru pada orang orang hebat, misalnya para nominee penghargaan sastra. Tapi tetap saja, menulis tak segampang
itu, seperti apa yang terjadi pada tokoh kita ini.
Tokoh kita
ini baru saja ikut sebuah kelas menulis di sebuah klub baca yang lumayan hip di kalangan anak muda, dan oleh mentornya
di kelas, ia ditugaskan untuk membuat sebuah cerita pendek. Sebenarnya ia tidak
bisa menulis dengan deadline atau
perintah atau suruhan atau hal hal semacam itu, tapi karena kelasnya memiliki
keterbatasan waktu, tokoh kita ini memaksakan dirinya untuk setidaknya membuat
satu cerita. Siapa tahu cerita itu memikat salah satu gadis di kelas, pikirnya.
Memikat gadis gadis ini adalah tujuan lainnya ia ikut kelas, karena ia lagi
bosan dengan pacarnya yang sekarang.
Pacarnya itu
menjengkelkan betul. Pencemburu, cerewet, dan memiliki rasa curiga yang
sepertinya sudah cukup layak untuk menjadi detektif. Kemampuan interogasinya
juga membuat hubungan mereka lebih mirip polisi dan tersangka kasus kriminal.
Gadis itu sebagai polisi dan ia adalah tersangka kasus pelanggar pasal UU ITE
karena menghina seorang selebtweet. Entah
apa sebabnya ia bisa menjalin hubungan dengan gadis itu, ia sendiri bahkan lupa
detail detailnya. Yang jelas, di suatu pagi di sekitaran bulan Agustus beberapa
tahun yang lalu, ia terbangun dari tidur dan si gadis itu sudah ada di
sampingnya, dalam keadaan bugil, tentu saja.
Dalam
usahanya untuk mendapatkan bahan cerita, tokoh kita ini memutuskan untuk
berjalan jalan sebentar di sekitaran rumahnya. Ia ingin melupakan pacarnya itu
sejenak, dan fokus pada usahanya membuat cerita pendek. Siapa tahu saat
berjalan jalan ada sejenis binatang unik yang lewat. Ia akan mengamati perilaku
binatang itu, dan ia akan menuliskan cerita pendek tentang itu. Ya, tokoh kita
ini ingin menuliskan cerita pendek tentang binatang binatang.
Tokoh kita ini
menyukai binatang binatang. Dulu ia kuliah di jurusan biologi, dan kemudian
bekerja sebagai aktivis lingkungan pro bono di sosial media. Jadi ia lumayan
punya pengalaman dengan berbagai jenis binatang. Sebenarnya tokoh kita ini
menyukai semua jenis makhluk hidup, tapi tak mungkin ia menulis cerita cerita
tentang semua makhluk hidup di dunia. Karena itulah ia menyempitkannya dengan
hanya menulis tentang binatang. Alasan lainnya adalah, ia juga tak ingin, dan
mungkin akan berubah menjadi anti, menulis tentang manusia, walaupun manusia
adalah salah satu jenis makhluk hidup.
Sudah
terlalu banyak yang menulis tentang manusia, lalu buat apa lagi dituliskan?
Pikirnya. Lagipula, dengan fokus menuliskan cerita tentang binatang, ia ingin
meruntuhkan kesombongan manusia yang menganggap dirinya adalah makhluk hidup
paling sempurna di muka bumi. Sungguh sebuah klaim yang tidak berdasar. Hanya
karena mampu menciptakan benda benda artifisial manusia mengaku-aku sebagai
pemimpin di muka bumi, dan bertindak seenak kelaminnya sendiri. Padahal kalau
benar benar direnungkan, di mana sih letak kesempurnaan manusia itu?
Binatang
juga mampu menciptakan rumah yang bagus dan nyanyian nyanyian yang indah.
Binatang binatang juga punya sifat altruisme, sejenis ketulusan yang luar biasa,
yang bahkan lebih baik dari manusia. Lalu juga, yang paling utama adalah,
binatang tidak pernah memikirkan masa depan hingga tujuh turunan, sehingga
terhindar dari sifat rakus. Walaupun
sedang berada dalam usia paling produktif, binatang binatang itu tidak tergoda
untuk menimbun sumber daya alam untuk menjadi miliknya sendiri. Ia mengambil
secukupnya saja. Pernah melihat singa atau jerapah yang menyimpan makanan untuk
cadangan makanan selama tujuh tahun ke depan? Tentu saja tidak pernah kan? Kalaupun
ada yang menimbun makanan, paling paling itu adalah jenis beruang yang sedang
mempersiapkan datangnya musim dingin, atau buaya yang membuat pekasam agar
makanannya menjadi lebih enak.
Oleh sebab itu ia merasa heran mengapa sampai sampai ada manusia yang
membuat kalimat yang melecehkan makhluk lain itu dengan kalimat seperti ini: Kalau hidup sekedar hidup, babi juga hidup.
Kalau kerja sekedar kerja, monyet juga bekerja.
Lha iya, memangnya mau bagaimana lagi sih? Seakan akan hidup dan bekerja sebagai binatang itu bukanlah hidup dan
bekerja yang sebenarnya. Memangnya bagaimana hidup yang tidak sekedar hidup?
Memangnya bagaimana bekerja yang tidak sekedar bekerja?
Karena kesal, ia lalu menambahkan kalimat itu dengan tambahan yang sinis:
kalau hidup sekedar hidup, babi juga hidup. Kalau kerja sekedar kerja, monyet
juga bekerja.. Kalau menulis sekedar menulis, Chandra Agusta juga menulis.
Kalau menyanyi sekedar menyanyi, Ndaru Hailjhon juga menyanyi.
Satu hal lagi yang membuat ia tak ingin menuliskan tentang manusia adalah
karena pacarnya. Pacarnya itu manusia, dan menyebalkannya minta ampun. Jelas
itu menambah kejengkelannya pada spesies Homo
sapiens ini. Tapi tiba tiba ia tersadar bahwa dirinya tidak memiliki bulu di seluruh
tubuhnya, serta tidak menguik. Ia tersadar bahwa ia adalah juga manusia. Ia
lalu tertawa dalam hati, menertawakan kebenciannya. Sebenarnya ia tidak sungguh
sungguh benci, ia hanya merasa sebal, semacam perasaan yang mungkin bermaksud
sebagi otokritik bagi dirinya sendiri. Tokoh kita ini kemudian merasa kesal, lalu
menjadi ragu ragu untuk menuliskan tentang binatang binatang tersebut. Ia
memang ragu ragu dalam segala hal, sebenarnya. Andai ada lomba ragu ragu
sedunia, ia (dan banyak teman temannya) optimis setidaknya ia bisa menjadi
juara 3, atau paling buruk juara harapan.
*****
SEBENARNYA, ada sebab
kenapa ia agak bersungguh sungguh untuk menuliskan cerita pendek tentang
binatang binatang ini. Pada pertemuan minggu lalu di kelas menulisnya, sebuah
cerpennya tentang remaja SMA yang berubah menjadi lebah pekerja setelah lulus
ujian nasional diserang habis habisan oleh teman teman dan mentornya.
“Cerpenmu butut sekali,
tokohnya tidak berkarakter”
“Kurang eksplorasi pada
tema, cobalah gali lebih dalam”
“Gaya berceritamu seperti
khatib shalat Jumat, mengkhotbah”
“Tidak ada isu penting
yang dibahas di ceritamu”
“Juga tidak ada pesan
moralnya”
“Meaningless mas”
“Kamu bukan menulis bro,
kamu berak”*
Seribu kritik. Ia jadi mangkel.
Bukannya tidak bisa dikritik, tapi ia baru tahu kalau dunia tulis menulis
begitu kejam. Ia jadi teringat cerita temannya yang bekerja di sebuah majalah
dwimingguan terkenal di tanah air. Temannya itu bilang bahwa tulisannya pernah
disamakan dengan sampah oleh editor seniornya, dan ia, temannya itu, karena
junior, terpaksa menelan makian itu mentah mentah tanpa berdaya melakukan
serangan balasan.
“Ya ampun ini kan cuma
tulisan cerpen, kenapa sih harus repot repot dibedah, dikritik dan ditelaah
sampai begitu rupa?” makinya dalam hati. Lagipula cerpen,
pikirnya, tidak memberikan sumbangsih apapun bagi kemajuan umat manusia.
Kalaupun ada, paling jumlahnya hanya sekuku hitam. Sastra sastra-an begini
jelas overrated. Kegunaannya terlalu
dilebih lebihkan, apalagi proses prosesnya. Menempuh jalan sunyi dari Hong
Kong? Menulis itu ya untuk mengisi waktu luang, atau untuk mencari nafkah
menghidupi anak istri dan selingkuhan, kalau ada. Ia hampir saja putus asa saat
itu, tapi untungnya tidak jadi. Ia masih punya setidaknya 33 persen semangat
untuk tetap menulis.
Sebelum mengikuti kelas
menulis itu, ia pernah omong omong mirip curhat
tentang impiannya menjadi penulis cerpen itu dengan seorang teman. Saat itu
semangatnya masih full-tank. Temannya
ini sebenarnya bukan penulis, tapi ia punya kemampuan merangkum banyak hal di
muka bumi, menyarikannya dalam beberapa kalimat perintah, dan ia hampir mirip
dengan motivator motivator di tivi. Sayangnya ia tak berniat untuk menjadi
motivator profesional. Ia lebih ingin menjadi semacam penyebab munculnya deus ex machina di dunia nyata, terutama
untuk kehidupan teman temannya sendiri.
“Kalau ingin cepat populer,
mulailah dari hal hal yang kontroversial” temannya itu menasihati.
“Misalnya bagaimana?”
“Ejeklah semua orang”
kata temannya itu. “Misalnya, bikin tulisan dengan judul 10 buku terjelek tahun
2016, yang isinya buku buku yang diambil dari kumpulan status twitter”
“Hmmm, lalu?”
“Aktiflah di sosial media.
Komentarilah apa saja. Ingat ya, apa saja. Lalu sesekali tulislah 2 atau 3
kalimat romantis atau lelucon ringan buat anak anak SMP, pengikutmu di sosial
media”
“Apakah itu membuatku
jadi penulis?”
“Sabar dulu. Yang penting
namamu terkenal. Cobalah bergaul, atau berdebat, dengan orang orang yang sudah
punya nama juga. Kalau bisa, buatlah seorang selebtweet tutup akun”
“Tapi aku ingin menjadi
penulis buku, bukan penulis twitter”
“Jangan lugu begitu.
Setelah kamu terkenal kamu bisa buat kebiasaanmu berdebat di twitter menjadi
judul buku”
.”Hmmm ya
ampun, aku tahu kamu menyindir siapa…”
“Ini bukan
sindiran, tolol! Ini motivasi. Berusahalah kawan, dan ingat, walau tulisanmu
buruk sekalipun, di dunia ini ada yang dinamakan nasib mujur.”
Ya, di dunia
ini ada yang dinamakan nasib mujur, mudah mudahan. Kalimat itu terngiang ngiang
di kepalanya hingga beberapa lama, hingga ia tahu ada klub khusus untuk para pehobi
mengkritik tulisan orang sambil mengampanyekan anti verbal bullying.
*****
Tokoh kita ini
pulang ke kamar kosnya, membuka laptop, dan akan mulai menulis. Ia tak akan
menuliskan tentang anak SMA lagi. Setelah berhasil melewati badai
keragu-raguan, ia memutuskan akan tentang penulis yang dikutuk menjadi monyet
karena usahanya untuk naik kelas sosial sudah mirip dengan perilaku binatang
binatang primata yang suka memanjat. Tokoh kita ini kemudian menyalakan rokok,
lalu membuka perangkat lunak untuk merangkai huruf huruf menjadi tulisan. Baru saja ia
mengetik kalimat pertamanya, telepon genggamnya bergetar. Sebuah pesan whatsapp.
“Bebs, lagi ngapain?” pacarnya mengirimkan pesan.
“Ya ampun,
cobaan macam apalagi ini?” ia memaki dalam hati.
Menjawab
pesan whatsapp ini menjadi kewajiban
baru baginya setelah berpacaran, setelah lima rukun Islam. Penganut agama yang
fanatik akan bilang itu bid’ah, tapi
bagi pacarnya, membalas pesan whatsapp
tepat waktu adalah amal jariyah. Tahu
sendirilah, pacarnya ini pemarah, selalu marah kalau ia telat membalas pesan whatsapp. Apalagi kalau tidak dibalas,
seluruh dunia bisa tahu kejadian itu karena ia dengan ringan tangan dan senang
hati mengetikkan sederetan kalimat kultwit
yang menceritakan betapa tidak perhatiannya pacarnya kepada dirinya sambil tak
lupa mengunggah gambar berisi kutipan kutipan murahan klise tentang cinta dan
kasih sayang blablabla yang resolusi gambarnya sudah pecah pecah dan buram
akibat terlalu sering diunggah dan diunggah lagi. Semacam uang kertas pecahan
seribu rupiah yang jatuh di tangan orang ke 225 juta. Ia heran kenapa wanita
bisa begitu. Mungkin itu semacam mukjizat yang mereka terima dari Tuhan untuk
menyiksa para lelaki di bumi.
“Aku mau
menulis” tokoh kita ini menjawab singkat.
“Sudah makan
belum?
“Sudah mandi
belum?”
“Sudah buang
air besar belum?”
“Sudah kasih
uang ke pengemis belum?”
“Foto cewek yang kamu unggah ke path itu siapa sih?”
“Maksud
cuitan kamu di twitter kemarin malam
itu apa?”
Seribu
pertanyaan lanjutan menyusul masuk di kotak pesannya seperti rentetan peluru
yang keluar dari senapan mesin. Semua ide di kepalanya seketika menguap.
“AKU MAU
MENULIS!” dibalasnya semua pertanyaan itu dengan sebuah penegasan, huruf
kapital, dan tanda seru.
“Menulis apa
sih, memangnya penting banget? Aku tuh lagi kangen, tahu?!”
Tokoh kita ini
mengetik sebuah kata balasan di layar telepon genggamnya, dan menekan tombol
kirim dengan penuh emosi.
“MONYET!!!”
* konon katanya, ini adalah kata kata Idrus
kepada Pramoedya Ananta Toer
Jakarta, Agustus 2016
Comments
Post a Comment