Pulanglah, Kau Mabuk!

September berakhir, dan semua orang sepertinya sudah ikut membangunkan Billie Joe Armstrong dari tidur panjangnya selama sebulan. Begitu ia terbangun, tahu-tahu sebuah band punk-rock asal Cirebon, Puppyhansen, sudah menyiapkan sebuah single terbaru: Pulanglah, Kau Mabuk!

Pasang headsetmu, jalankan aplikasi musik online digitalmu. Begitu lagu ini mengalun, musik menghentak, lirik-lirik pendek yang menyindir, dengan ciri umum yang mudah ditemukan pada generasi X, yaitu kemarahan, berhamburan memecah telinga.

Sebuah lirik tentu lahir dari kondisi sosial di mana lagu ini diciptakan. Kondisi sosial di tanah air saat ini memang boleh dibilang cukup memuakkan. Aksi aksi berbau SARA oleh ormas-ormas berbasis agama, isu-isu kebangkitan komunis yang sudah sangat basi (saya pikir ini adalah salah satu sebab mengapa Billie Joe Armstrong ingin tidur selama bulan September), penggerudukan diskusi-diskusi, dan banyak lainnya, marak tak terkendali. Puppyhansen, seperti juga kita, dapat melihat dengan jelas bahwa ada motif-motif politik dibalik semua itu. 

Kita dapat dengan mudah mengidentifikasi siapa yang mereka maksud dengan "legiun bandit pemburu surga" yang menjadikan dalil agama sebagai senjata. Orang-orang yang mabuk pada keyakinannya, pada dunianya, hingga berani menghakimi perbedaan yang diniscayakan Tuhan dalam kitab suci.

Banyak orang seakan lupa bahwa banyak hal lain yang lebih menyenangkan ketimbang ribut-ribut begitu. Menikmati musik, misalnya. Dan untuk orang-orang seperti itulah lagu ini sepertinya diciptakan. Tak perlu interpretasi macam-macam, pisau analisa yang tajam, atau perenungan yang mendalam untuk dapat memahami sindiran sindiran lugas dan kasar yang mereka teriakkan. Satu kalimat : Pulanglah, Kalian Mabuk! Dan Billie Joe Armstrong pun terbangun dengan bahagia.

  


Catatan tambahan:

Suatu hari di tahun 2017, entah bulan apa, sehabis menonton penampilan live Zoo di LBH Jakarta, saya membawa pulang secara cuma-cuma sebuah zine fotokopian yang saya lupa namanya. Di zine itu ada sebuah artikel wawancara si reporter zine dengan Raka Ibrahim, yang isinya sangat membekas di kepala. Saya menangkap perasaan pesimis/atau mungkin apatis (?) atau apalah namanya, dari Raka Ibrahim pada band-band dengan lirik-lirik politis/kritik sosial. Intinya, Raka tidak percaya bahwa lirik-lirik band itu mampu membawa perubahan sosial yang berarti, bahkan bila dinyanyikan oleh Iwan Fals sekalipun. Menurutnya lagi, perubahan sosial itu baru akan mungkin apabila sang artist juga membangun gerakan yang lebih progressif, alih-alih menyanyi dari panggung ke panggung di depan anak-anak muda kuliahan (yang bapaknya mungkin koruptor). Kalimat terakhir ini kalimat dari saya, bukan kalimat Raka.

Saya mengamini seluruhnya pernyataan itu, karena itu jugalah isi kepala saya selama bertahun-tahun sejak saya kenal lagu-lagu protes. Saya jelas tidak percaya bahwa lagu adalah media protes yang efektif, tapi itu tidak berarti saya meninggalkan selera asal saya untuk musik musik macam begitu, termasuk musiknya Puppyhansen. Saya memandangnya sebagai ekspresi diri, dan ekspresi diri inilah poin utamanya. At least, saya harus mengutip Sheila on 7, bahwa: "arti teman lebih dari sekedar review..." :p


Comments

Popular posts from this blog

Sedikit Catatan Soal Penerbitan Munnu: Bocah dari Kashmir

Buku Buku Kaum Pecinta Alam

Resensi Film: Main Kayu ( Dokumenter tentang Ketidak adilan Kehutanan di Jawa)