Percakapan Tentang Perilaku Binatang Menurut Teman Teman

Senang sekali, ternyata ada yang mau membeli, lalu kemudian memberikan pendapat tentang "Percakapan Tentang Perilaku Binatang". Sebagai arsip, saya akan mengumpulkannya di sini. Saya menikmati semua komentarnya, sungguh. So, mari kita mulai!

1. Dari Arif Abdurrahman, yang blognya sering kubaca: yeaharip.com
"Ya ampun ini kan cuma tulisan cerpen, kenapa sih harus repot-repot dibedah, dikritik dan ditelaah sampai begitu rupa?” makinya dalam hati. Memang, ga ada gunanya juga. Saya sendiri ga terlalu mikirin tradisi susastera, dan saya sendiri bukan kritikus susastera, tapi lebih sebagai konsumen. Dan sebagai bagian consumer society tentu boleh ngajuin keluhan konsumen - sebagai konsumen yg snob, tentu saja. Semua cerpennya menyuarakan tema cerita serupa: manusia kontemporer yg teralienisasi kehidupan modern. Setiap suara protagonisnya pada sama, ala-ala Murakami, namun dari penceritaan terkesan buru-buru dan hanya sebatas laporan reportase (ini mungkin karena saya keseringan baca cerpen New Yorker yg panjang-panjang itu). Berbagai referensi pada budaya pop (sastra elitis sekalipun udah masuk komoditi) pun cuma jadi tempelan doang. Dari tema dan gaya bertutur ga ada kebaruan. Sebagai sesama anak muda, saya bisa merasakan semacam subtext atau apalah namanya, soal kebingungan dan kekhawatiran dalam beragam cerita yg dihimpun.
2. Dari Achmad Soefandi, komentar lengkapnya bisa dibaca di sini

Kalau boleh berkata jujur, sebelum saya membahas buku ini, saya mengalami kesulitan untuk mencari inti dari setiap tajuk cerpen yang dimuat dalam buku ini. Bukan karena tidak adanya pesan dari setiap cerpen yang ada, melainkan tema yang diangkat dalam cerpen ini tampak begitu “remeh”. Tapi, setelah saya membaca tuntas, saya baru ngeh apa yang ingin disampaikan Chandra, penulis buku ini.
Dari segi penyampaian bahasa, saya jamin pembaca tidak akan menemukan kesulitan dalam mencerna setaip kata yang ada. Semua disampaikan dengan bahasa sehari-hari, bahkan jangan kaget jika pembaca akan menemukan kata-kata “jalanan” seperti: perek, asu, dan lainnya.
Bagi saya buku ini bisa dibaca dengan dua cara: pertama, dibaca secara santai, sembari ngopi dan ngemil ;atau dibaca secara serius, sembari berdiskusi, menyeruput secangkir kopi hitam, dan berbagi sebungkus rokok dengan seorang sahabat.

Comments

Popular posts from this blog

Sedikit Catatan Soal Penerbitan Munnu: Bocah dari Kashmir

Buku Buku Kaum Pecinta Alam

Resensi Film: Main Kayu ( Dokumenter tentang Ketidak adilan Kehutanan di Jawa)