BEASILVA, BEASISWA TANPA MINIMAL IPK.




Saat terakhir kami berjumpa di Bogor di awal Februari tahun ini, Danang baru saja menikah, dan Ableh baru saja berhasil merayu istrinya yang ngambeg setelah mengetahui bahwa ia diam-diam masih merokok. Problem-problem rumah tangga sepertinya mulai menghantui mereka, dan aku datang sebagai seorang yang merdeka (merdeka dari Ida, kata Chairil Anwar). Tapi bukan itu yang mau diceritakan. Adalah Beasilva, yang saat kami bertemu itu, sudah memasuki semester ke 5. Dan aku merasa agak terharu.

Dua tahun lalu, saat kami masih miskin --orang budak hidup dalam palu-palu berkeliling, kata Afrizal Malna-- dan mereka berdua belum menikah, kami mencoba-coba membuat sebuah beasiswa mandiri yang bersumber dari dana kolektif, buat anggota-anggota mapala di kampus. Alasannya sederhana. Banyak orang koar-koar kalau IPK bukan satu-satunya alat mengukur prestasi. Padahal katanya lagi: soft skill itu penting, termasuk di dalamnya prestasi non akademik. Sialnya, jarang sekali beasiswa yang tidak memasukkan IPK sebagai salah satu kriteria seleksinya. Kami — sebagai mapala, atau mantan mapala — muak dengan omong kosong itu. Jadilah Beasilva, beasiswa untuk mapala tanpa minimal IPK.

Solidaritas mapala menjadi dasar utama beasilva. Segera setelah Beasilva dirilis, teman-teman lain segera membantu. Sementara saat negara membuat mahal biaya pendidikan lewat status universitas yang menjadi PTN-BH, kami dengan sukarela buang-buang uang untuk anak-anak urakan berkemeja flannel yang penuh bakat dan berdompet tipis di kampus. Mapala ways!

Selama 2 tahun ini, Beasilva boleh dibilang menunjukkan perkembangan positif. Jumlah donatur dan donasi yang disumbangkan terus meningkat, begitu juga jumlah penerima. Belasan anggota mapala tercatat sudah menerima beasilva. Untuk level beasiswa yang dikelola amatiran oleh tiga lelaki di bawah 30 tahun, ini sudah prestasi besar. Kita kan bukan yayasan beasiswa milik korporasi. 

Targetnya ke depan, Beasilva dapat menyalurkan beasiswa untuk 10 orang per semester. Nggak terlalu muluk-muluk juga sih. Semoga masih bisa dikerjakan, di sela-sela permasalahan permasalahan domestik yang mulai muncul seiring bertambahnya usia dan kedewasaan. Yah, begitulah: sementara Beasilva mengalami peningkatan, karir dan besar pendapatan kita belum tentu linier dengan itu. Orang budak hidup dalam palu-palu berkeliling, kata Afrizal Malna. Dan kami bertiga, seperti yang sudah diduga sebelumnya, meskipun acara resminya adalah ngobrolin masa depan Beasilva, tapi yang terjadi adalah curhat bersama soal kemampuan finansial yang masih begini-gini aja. Tapi orang Prancis bilang c’est la vie, inilah hidup. Dan karena hidup itu indah, aku menangis sepuas-puasnya, lanjut Sapardi.

PS: 

- Terima kasih banyak untuk teman-teman (yang tak bisa disebut satu-satu) yang sudah dengan suka dan rela menjadi donatur. Tanpa kalian, Beasilva tak pernah ada.

- Gambar: grafitti sebuah logo anarchy dalam bentuk persamaan matematika.




Comments

Popular posts from this blog

Sedikit Catatan Soal Penerbitan Munnu: Bocah dari Kashmir

Buku Buku Kaum Pecinta Alam

Resensi Film: Main Kayu ( Dokumenter tentang Ketidak adilan Kehutanan di Jawa)