YANG TERSELIP DALAM DENDAM SEMANGKOK MIE AYAM

[SPOILER ALERT]

Menikmati makanan kesukaan sudah pasti jadi salah satu hal paling menyenangkan dalam hidup. Sensasi rasa yang terkecap di lidah, ditambah pula dengan pengalaman dan ikatan emosional tertentu pada makanan favorit itu, bisa jadi menambah nikmat. Sudah menjadi hal yang lumrah pula, bahwa menikmati makanan kesukaan menjadi sarana untuk berkumpul dengan orang-orang terdekat. Tapi apa jadinya jika makanan favoritmu adalah arwah penasaran penuh dendam yang ingin menuntut balas?

Dalam komik, semua hal memang bisa terjadi, termasuk hantu berwujud mie ayam yang ingin membalas dendam. Terdengar ganjil, tapi itulah yang terjadi dalam komik pendek berjudul Pembalasan Mie Ayam dari Neraka karya Alzein Merdeka ini. Alzein memang dikenal melalui kisah-kisahnya yang aneh, ganjil, dan kental dengan eksplorasi nilai-nilai lokal. 

Bagaimana pun, ketika kita membaca sebuah komik, sebagai sebuah karya komik itu haruslah dipandang sebagai produk sebuah zaman yang tak bisa dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi, dan politik pada sebuah periode tertentu, karena ia menjadi bagian di dalamnya. Komik tidak berdiri sendiri sebagai sebuah karya yang terisolasi. Dalam satu kuliah daring Seno Gumira Ajidarma mengatakan, yang paling menarik dari sebuah kajian visual komik bukan hanya terletak pada wacana atau gagasan apa yang disampaikan oleh komikus dengan sadar, tapi juga wacana/gagasan yang tersirat, yang bisa saja memang disembunyikan, atau bahkan mungkin secara tak sadar, muncul dari relasi teks dan gambar tersebut. Wacana-wacana ini menjadi kekuatan dan nyawa bagi komik itu sendiri, membuatnya lebih dari sekedar komoditas hiburan yang kering dan tanpa makna. Untuk itu, tentu menarik untuk membaca lebih jauh gagasan dan wacana apa terselip dalam relasi gambar dan teks lewat cerita komik setebal 28 halaman ini. 

Sebuah telepon genggam tergeletak di tanah dan mangkuk mie ayam yang pecah berantakan menjadi adegan pembuka. Api berkobar di sekelilingnya. Nampak pula garpu yang bengkok dan gulungan mie yang berhamburan. Gambar Wukir dan kekasihnya, Kartika, terpajang dalam telepon genggam itu. Sekelompok orang rupanya telah menganiaya Wukir, pedagang mie ayam yang jujur itu. Sekelompok orang yang beringas, telah mengambil tindakan main hakim sendiri, karena beredarnya sebuah kabar bohong bahwa mie ayam yang dijual Wukir menggunakan ayam tiren berformalin. Menjelang kematiannya inilah, hati Wukir yang semula bersih berubah penuh dendam.

Dalam adegan pembuka ini, Alzein mengemukakan satu fenomena paling penting di abad digital ini, kabar bohong. Merebaknya kabar bohong secara masif dan tak terkendali seringkali mengakibatkan hal-hal yang mengerikan termasuk kekerasan fisik. Apa yang terjadi pada Wukir, yang menjadi korban dari masyarakat yang sangat reaktif dan gemar main hakim sendiri terasa mirip dengan berita yang kita dengar sehari-hari. Seorang waria yang dibakar hidup-hidup, sebuah rumah makan digeruduk karena desas-desus menggunakan daging tikus, dan sederet peristiwa sejenis yang membuat kita mengelus dada.

Andai kita sedikit menahan diri, untuk kemudian memverifikasi kebenarannya, kita akan tahu bahwa kabar bohong itu tidak beredar dengan sendirinya, dan bukan pula tanpa tujuan. Seseorang merencanakannya, dan mengambil keuntungan dari itu. Dalam komik ini, Pras sengaja menebarkan kabar bohong tentang mie ayam Wukir agar pembunuhannya tersamarkan dalam amukan massa (yang seolah-olah terpicu oleh kabar bohong, padahal kenyataannya adalah preman bayaran), dengan tujuan mendapatkan Kartika, pacar Wukir. Dalam konteks yang lebih luas, kita bisa melihat bagaimana fenomena “buzzer-buzzer politik” mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari.

Lanjut cerita, di alam kubur, Wukir yang sudah mati mendapatkan sebuah tawaran dari sesosok jin yang bisa membuat arwahnya tetap bisa berada di dunia. Demi untuk tetap bisa menemui Kartika, dan tentunya untuk membalaskan dendamnya, Wukir pun tanpa ragu menerima tawaran itu. Wukir pun akhirnya bergentayangan di dunia dalam wujud mie ayam.

Sekilas, hantu gentayangan berwujud mie ayam ini nampak sebagai lelucon yang ganjil. Penokohan ini dibuat sedemikian rupa, nyeleneh, dengan tujuan utama membuat keadaan menjadi lucu. Tapi ada hal lain yang bisa dibaca dari sini. Dalam banyak kisah horor di tanah air, ada satu hal yang selalu menjadi pusat cerita, yakni keberadaan sosok gaib yang berjenis kelamin perempuan. Pada kisah-kisah rakyat yang lebih tua, sosok perempuan gaib ini menempati posisi yang terhormat. Sebut saja Nyi Roro Kidul, yang bahkan memberikan legitimasi bagi berdirinya kerjaan Mataram. Semakin ke sini, nampaknya terdapat pergeseran pandangan. Dalam film-film horror 80’an, sosok hantu perempuan ini terreduksi dalam motif motif yang lebih rendah: sekedar usil, atau pembalasan dendam. Perempuan-perempuan ini, yang biasanya mengalami kematian tak wajar, berubah menjadi hantu, yang diandaikan bahwa mereka bersifat satanik. Habib Khadir dalam eseinya menyatakan bahwa figur hantu perempuan dalam film-film ini menunjukkan ketakutan masyarakat patriarki, sekaligus frustasi terhadap modernitas yang mewajibkan orang untuk harus selalu maju dan mampu bersaing. 

Sosok hantu Wukir ini, seorang laki-laki yang kemudian menjadi hantu berwujud mie, adalah sebuah wacana perlawanan yang disodorkan Alzein. Penggunaan tokoh laki-laki sebagai hantu di komik ini dapat dipandang sebagai kritik, juga upaya rekonstruksi terhadap stereotip kisah horor (umumnya film) Indonesia. Alzein mengandaikan bahwa laki-laki pun bersifat satanik, yang akan membalas dendam atas kematiannya, tak peduli seberapa jujurnya ia semasa hidupnya.

Ada hal yang menarik lagi. Ketika komplotan Pras hendak menculik Kartika, tiba-tiba mie jelmaan Wukir mengamuk. Mie ayam jadi-jadian itu bahkan menusuk bola mata salah satu anak buah Pras hingga bola matanya pecah. Komplotan itu menjadi panik atas situasi tak terduga ini, dan berniat menelepon Pak Ustaz untuk mendapatkan bantuan. 

Adegan ini adalah contoh lain bagaimana Alzein dengan halus menggambarkan sekaligus mengkritisi bagaimana sebagian masyarakat kita beragama. Pak Ustaz adalah tokoh yang dalam banyak kisah sinetron kita menjadi jalan pintas untuk menyelesaikan masalah apa pun, termasuk masalah hantu. Sialnya, di saat genting karena teror amukan mie ayam itu, Pak Ustaz malah tidak menjawab panggilan telepon.  Ketak-hadiran Pak Ustaz ini dapat dibaca sebagai kritik Alzein atas jalan pintas itu, atas penggunaan tokoh agama yang tidak pada tempatnya. Alih-alih menghadirkan Pak Ustaz, yang muncul justru alunan sebuah lagu pop dari nada tunggu operator, yang menyanyikan lagu Ayat Ayat Cinta. Situasi menjadi bertambah canggung dan aneh, dan tentu saja lucu.

Adegan ini lagi-lagi bisa dibaca sebagai sebuah kritik lain. Komersialisme yang muncul tidak pada waktunya memang menjengkelkan. Contohlah, iklan-iklan yang memanfaatkan viralnya berita-berita tertentu di luar konteks dan kadang-kadang tanpa simpati sama sekali

Lihat juga bagaimana Alzein membawa isu diskriminasi dalam komik ini. Ingat soal diskriminasi rasial dan agama dalam bisnis kamar kos, di mana beberapa pemilik kos menolak menerima penyewa dari etnis dan agama tertentu? Alzein dengan sadar membawa isu itu dan menjadikannya lelucon lewat sebuah panel saja di halaman 10, dengan gambar sebuah rumah, rumah kos Kartika, dengan tulisan: “TERIMA KOST. TIDAK MENERIMA MAHASISWA SENI!” tertempel di pagarnya.

Menariknya, gagasan-gagasan dan kritik ini disampaikan dengan cukup subtil. Alzein cukup pandai menempatkan gagasan dan kritik-kritiknya sehingga cerita tak lantas berubah menjadi panggung khutbah. Tak ada narator yang mengarahkan moral pembaca. Ia bahkan menyindir kecenderungan itu dalam adegan selanjutnya. Digambarkan, di tengah kepanikan, Kartika yang hendak diculik tadi tiba-tiba bisa melayang, dengan sepanci mie yang ikut melayang di sampingnya. Komplotan itu makin panik dan berlarian. Sambil berlari, Muis, anak buah Pras berteriak: 

“…Dia kesurupan Wukir, Bosss!!!”, 

dibalas Pras dengan teriakan pula: 

“aku bisa lihat, Iiis!”. 

Dialog itu mengejek kecenderungan untuk menjelas-jelaskan hal yang memang sudah ada dalam gambar. Komik adalah bahasa visual. Jika sesuatu bisa dijelaskan dalam gambar, penjelasan dalam teks terasa mubazir. Lebih luas, ketimbang menjelas-jelaskan maksud dan moralitas cerita, lewat dialog ini Alzein mungkin ingin pembacanya mengatakan apa yang dikatakan Pras: “aku bisa baca sendiri, bung!”


Tak bermaksud terlalu memuji, setelah sekian paragraf di atas, tapi Alzein adalah pencerita dan penggambar yang efisien. Dalam komik setebal 28 halaman ini (termasuk sampul depan dan belakang), ia tak bertele-tele. Shot demi shot efektif membawa cerita hingga akhir, tanpa banyak talking head yang menjemukan. Mungkin karena ia adalah penggemar sekaligus juga pembuat film (Alzein aktif membuat film-film horror berbiaya rendah, atau dikenal dengan film kelas B, lewat kolektif film bernama Kolong Sinema), nampak betul bahwa ia punya kesadaran sinematik yang cukup kuat. Ini bisa dilihat dari bagaimana ia membuat panel-panelnya dengan cukup variatif, dari adegan ke adegan, aspek ke aspek, atau dari waktu ke waktu untuk menunjukkan kerincian. Sudut-sudut pengambilan gambar pun cukup variatif. 

Sayangnya, ada juga penggunaan panel-panel yang susah dipahami maksud, efek, dan fungsinya. Mengutip Scott McCloud, fungsi parit antar panel adalah tempat pembaca menumbuhkan imajinasi, tentang apa yang terjadi di antara 1 gambar dalam panel dengan gambar di panel berikutnya. Dalam halaman 1, misalnya, di mana Deka menggambarkan sebuah telepon genggam tergeletak dan mangkok mie yang pecah, ia membagi 1 halaman utuh tersebut menjadi 3 panel, dengan 2 panel kecil di bagian atas. Jika ia ingin membuat adegan itu menjadi lebih dramatis dengan pemecahan panel ini, nampaknya itu tidak berhasil, karena pemenggalan panel ini tidak menimbulkan efek dan imajinasi apapun selain mengiris sedikit pada bagian atas panel utama. Begitu juga dengan sebuah panel di halaman 15, di mana 2 panel kecil di sebelah kiri hanya berisi sambungan gambar Wukir yang berwujud mie ayam. 


Panel-panel hitam dalam gambar di bawah ini jauh lebih menarik. Meski hanya berupa blok hitam, dibantu dengan garis gerak dengan sebuah pohon di tengahnya pada panel terakhir, pembaca dapat membayangkan bahwa sesuatu telah berputar-putar di dalamnya, yang dijawab pada gambar di panel dan halaman setelahnya. 



Selain itu, —tapi ini mungkin juga disebabkan oleh pendeknya komik— tidak ada cukup banyak established shot yang menggambarkan latar cerita, yang bisa menjadi bonus bagi pembaca yang menginginkan gambar dengan latar yang detail. Coba bayangkan jika adegan Pras tergantung di pohon besar tepat di atas gerobak mie ayam ini, dengan Kartika yang melayang-layang ini digambarkan dalam satu halaman utuh dengan cukup detail, pasti sangat menyenangkan bagi pembaca.


Pemilihan judul adalah hal lain yang juga perlu dibahas. Pada era 90-an, ada sebuah sub-genre komik yang cukup fenomenal: komik Siksa Neraka, sebuah sub-genre komik yang dipenuhi dengan gambar-gambar yang gore dan sadistik. Cerita dalam sub-genre ini berpusat pada pembalasan siksa di neraka bagi si jahat, dan ganjaran surga bagi si baik. Menurut Henry Ismono, kolektor dan pengamat komik Indonesia, sub-genre ini sebenarnya dimulai pada akhir 50-an, ditandai dengan terbitnya komik berjudul Taman Firdaus oleh KT Akhmar pada 1958. Pada era 90-an komik ini mencapai kejayaannya, dicetak secara massif dengan cetakan berkualitas rendah dengan oplah ratusan ribu eksemplar dan didistribusikan lewat jalur toko-toko keagamaan.
 
Pada panel-panel terakhir, di mana arwah Kartika disiksa dalam api, bisa dilihat bahwa Alzein memang menjadikan komik Siksa Neraka sebagai referensi. Pemilihan judul Pembalasan Mie Ayam dari Neraka (walaupun Wukir sebenarnya belum masuk neraka), nampaknya adalah sebuah penegasan kecintaan Alzein pada komik-komik di era itu. Jika melihat karya-karya Alzein yang lain lewat kolektif Kolong Sinemanya di mana ia aktif membuat film-film bajet rendah sebagai tribute untuk film-film horror Indonesia, mungkin bisa dibilang bahwa komik ini adalah sebuah persembahan untuk komik Siksa Neraka.


Pembalasan Mie Ayam dari Neraka sendiri awalnya ada dalam kompilasi komik bertajuk Mungkinkah Barokah yang menjadi nominator antologi komik terbaik dalam acara Pakoban 2019, yang kemudian dirilis secara tunggal lewat format digital dan dapat dibaca melalui bacawaca.com.

Comments

Popular posts from this blog

Sedikit Catatan Soal Penerbitan Munnu: Bocah dari Kashmir

Buku Buku Kaum Pecinta Alam

Resensi Film: Main Kayu ( Dokumenter tentang Ketidak adilan Kehutanan di Jawa)