Komik sebagai Puisi

Oleh: Ivan Brunetti, 30 Januari 2020

Diterjemahkan oleh: Chandra Agusta

Dalam kolomnya, "Line Readings", Ivan Brunetti memulainya dengan pembacaan mendalam satu unit komik — panelnya, halamannya, atau perluasannya — lalu meluas meliputi sejarah komik, dan dunia secara keseluruhan. 


Komik seringkali disejajarkan dengan cerita pendek dan novel, atau film animasi (yang ini lebih jarang), tapi dalam arti tertentu, komik juga adalah semacam puisi, sebuah mantra yang memanggil kita untuk memasuki dunianya. Kesederhanaan dari penggalan-penggalan pendek sebuah komik, secara mengejutkan dapat mengungkapkan kepadatan, lapisan-lapisan, dan banyak sisi-sisi lain. Dalam puisi, baris-baris membentuk dan mengisi sebuah stanza, yang secara harfiah berarti “ruang”; begitu pula dalam komik, di mana panel juga bisa dianggap sebagai stanza-stanza. Baris, kolom, dan/atau tangga-tangga panel, sebagai gantinya, menyusun sebuah halaman (atau seluruh cerita) komik dan memberikan rima tertentu yang khas. Bahkan sebuah kisi yang paling sederhana pun dapat membuat struktur yang ritmis pada sebuah halaman komik.

Kisah satu halaman berjudul Jump Shot oleh Lynda Barry (1988), sebuah cuplikan dari seri komiknya, Ernie Pook's Comeek, terdiri dari, dalam istilah yang paling sederhana, sebuah kotak persegi besar yang dibagi lagi menjadi empat kotak persegi yang lebih kecil. Dalam setiap kotak terdapat pemandangan sebuah ruangan, berisi hanya satu orang tokoh, seorang gadis muda, dalam waktu yang berurutan. Ini adalah unsur-unsur paling dasar dalam sebuah komik: sebuah karakter dalam suatu ruang, dalam satu aksi berkelanjutan, yang terdiri dari beberapa panel, yang semuanya ditempatkan dalam kisi-kisi terpisah yang rata. Akan tetapi, bahkan pada sebuah elemen yang berisi ruang-ruang yang lega dengan titik-titik partikel kecil carut-marut yang susah dipahami di dalamnya, dari setrip yang tampaknya sederhana ini, pada kenyataannya cukup kompleks dan memiliki nuansa. Walau gadis muda itu tak bernama, kita diajak untuk melihat apa yang ia lihat, membayangkan apa yang ia bayangkan, dan merasakan apa yang ia rasakan. Yang menakjubkan, kita berhasil melakukannya.

Bagaimana hal ini bisa dicapai hanya dalam empat panel? Sebelum kita mulai membaca komik setrip ini, secara visual kita menyerap keseluruhan cerita secara utuh, dan tak ada banyak aksi: dua panel yang agak statis, satu panel close-up, dan hanya satu panel yang menunjukkan gerakan. Sekilas, semuanya tampak sangat ...kecil. Tapi benarkah begitu?

 

Panel 1: Kita melihat seorang gadis memandang ke luar jendela, ditandai dengan gambar gestural berupa tirai, daun jendela, dan ambangnya; kita juga melihat kilasan pohon dan rumah di kejauhan, dan garis-garis yang padat menunjukkan bahwa saat itu adalah malam hari. Dari sikap-badan gadis itu, kita bisa melihat bahwa ia sedang asyik memperhatikan sesuatu, dan kita para pembaca juga tergoda untuk ikut memperhatikan. Kita juga ingin melihat apa yang ada di luar jendela itu. Gadis itu menghadap ke kanan, mencerminkan arah di mana kita membaca komik setrip ini, dan mata kita dengan mudah mengikuti matanya. Kita menghubungkan kotak caption dengan si tokoh (yang melayang di atas kepalanya, seperti pikiran) dan ketika kita membacanya, kita paham bahwa gadis muda itulah naratornya. Kita pun bergegas masuk ke dalam adegan.

Jika diuraikan: “Remaja bernama Richard/The teenager name of Richard” adalah frasa dalam bahasa anak-anak, yang menyiratkan bahwa narator adalah seorang anak yang lebih muda dari seorang remaja. Kita tahu persis siapa, apa, kapan, dan di mananya: gadis itu ada di kamarnya, mengamati si Richard, larut malam, menembak keranjang sendirian di pojokan, khususnya, di pojokan “kami”. Beginilah cara anak-anak merujuk pada blok milik mereka sendiri, tapi kata “kami” juga menimbulkan pikiran — dengan halus dan penuh konspirasi — bahwa kita para pembaca adalah juga anak-anak yang hidup di blok yang sama dengan mereka. Penggunaan kata ganti orang kedua (“kau bisa menonton/you can watch”) adalah undangan lebih lanjut kepada pembaca untuk menjadi peserta langsung dalam cerita, bukan hanya penonton. Perhatikan bahwa kita “bisa/can” menontonnya, adalah undangan lain; kita sebenarnya tak dipaksa untuk menonton, karena dia (Richard; pen.) tidak hadir pada gambar dalam cerita ini. Kata-kata dan bahasa tubuh gadis itulah yang memungkinkan kita membayangkan bahwa kita, bersama gadis itu, sedang menonton Richard. Panel pertama ini begitu penuh dengan detail narasi yang mengesankan: latar, tokoh, dan sudut pandang dibuat dengan ekonomis, penuh otentisitas, ketersiratan, orisinalitas, dan keanggunan.

 



Panel 2: Setelah menetapkan adegannya dengan jelas, sang komikus kini dapat mengubah dan memvariasikan visual dalam panel ini, yang dalam beberapa hal berbeda dari panel-panel lain: ia menyodorkan gambaran close-up dari sang tokoh yang berbaring, menghadap ke atas dan tak beranjak, matanya terpejam; dan ia, juga kita akan masuk lebih dalam. Lebih lanjut, panel ini adalah panel yang paling cerah, sementara panel-panel lainnya semakin gelap dan semakin gelap seiring berjalannya malam, ditandai dengan semakin tebalnya garis-garis di dua panel terakhir. Garis-garis yang paling tipis muncul pada panel 2 ini, dengan tarikan yang lembut, dalam glissando arsiran-arsiran yang menyelimuti, yang efek keseluruhannya membuat panel ini menjadi yang paling “internal” dari ke empat panel, di mana gadis itu tenggelam dalam kebahagiaan. Kata-katanya pun juga menjadi lebih puitis, dengan onomatopoeia (“ping ping”) dan perpaduan sinestetik dari gerakan dan suara (kita “mendengar” dia berjalan, berlari, dan melempar). Pilihan yang menakjubkan oleh sang komikus: gadis itu, dan kita para pembaca, tak pernah melihat “tembakan melengkung sempurna/perfect hook shot” ini tapi dibiarkan bebas untuk membayangkannya. Pilihan kata-kata itu tak mengilustrasikan gambaran tersebut; tapi sebaliknya, ia menciptakan empati dengan menggabungkan mata pikiran kita dengan gadis itu.

 


Panel 3: Sekarang pandangan kita harus bergeser secara diagonal ke bawah dan ke kiri. Ada semacam sihir terjadi selama transisi singkat ini: kata “kau/you” menghilang dari narasinya. Dinding pemisah antara pembaca dan narasi telah menghilang. Kita telah dipindahkan dan telah hadir sepenuhnya “di sana”, mengalami momen spesifik itu, dengan tokoh itu, di ruangan itu. Luapan kata kerja ekspresif dalam caption-nya sangat cocok untuk panel yang paling aktif ini. Lengan gadis itu menggapai-gapai dengan liar, berusaha meniru kecepatan irama Richard yang bergerak cepat. Sekali lagi, kita tak perlu melihat Richard, karena perpaduan garis-garis yang enerjik dan permainan kata-kata itu menggambarkannya untuk kita: misalnya, urutan/blok kata “bouncing, bouncing, bounce, stop” yang menyerupai — gaya E.E. Cummings— aksi yang digambarkannya. Sesungguhnya, caption tersebut adalah sebuah luapan deras sebuah puisi yang murni, yang diterjemahkan dalam bahasa anak-anak yang kaya dan tak dapat diprediksi: “the fast no-sound”, penyisipan kata “pause”, “wham-wham” yang digarisbawahi, dan umpatan lucu di akhirnya.


Panel 4: Panel terakhir ini dalam beberapa hal mengulang yang pertama: midshot tokoh melihat ke luar jendela, kali ini dengan tangan, bukan lengannya, yang bertopang pada ambang jendela, tapi pembaca kini sedikit lebih dekat dengannya. Konstruksi objective-case-gerundive yang tak biasa (saya tak sedang berpura-pura menjadi ahli tata bahasa) berlanjut: “ia berbisik/him whispering” dari panel sebelumnya diikuti oleh “ia melompat/him jumping” dan kemudian ditambahkan menjadi “ia melompat tinggi dan berputar/him jumping up and turning”. Kita menutupnya dengan sedikit hitungan matematika yang hiperbolik dan apik (“seribu juta serangga/a thousand million bugs”) dan pengulangan yang penuh keceriaan dalam “wild, wild, wild”. Panel ini terasa sunyi, dengan kata lain: Richard telah berubah menjadi sesosok makhluk yang berputar-putar penuh energi, menyatu dengan alam.

Dalam komik pendek yang serba lengkap ini, gadis itu berada dalam pengaruh mantra Richard, dan kita berada dalam pengaruh mantra Lynda Barry. Kita tak perlu benar-benar menjalani momen ini; kita mungkin pernah mengalami momen serupa dengan cukup intens, yang membekas dalam ingatan kita. Sang komikus itu menyihir kita dengan humor dan tanpa kehebohan, dengan peningkatan kesadaran, respons internal kita terhadap dunia eksternal, dan pengalaman bersama. Lebih lagi, penggunaan gambar tangan selalu memperlihatkan, dalam pergerakannya, bahwa hasil tarikan garis tak pernah berada dalam posisi netral, bahkan pada batas-batas panel, yang ikut memperkuat rasa keintiman dan kerentanan.

Pada byline (baris di permulaan; pen.) komik tertulis tahun 1988, tapi kejadian itu bisa saja terjadi pada tahun 1968, atau 1998, kemarin, atau besok, atau tepat pada saat kita membacanya. Gambar-gambar membutuhkan waktu untuk dibuat, dengan demikian ia menampilkan pada kita suatu bentuk “waktu itu”, tetapi melalui keajaiban kartun yang tak terbayangkan (atau lebih tepatnya, melalui gambar-gambar yang disusun dalam urutan yang disengaja), penonton terpikat masuk dan dipindahkan menuju “saat ini”. Kekhasan bahasa, suasana, dan sensasi itu membuat kita berasumsi bahwa komik ini mungkin merupakan ingatan yang diciptakan kembali, atau setidaknya sebagian berakar dalam ingatan, seorang dewasa yang secara meyakinkan memasuki masa kecil mereka sambil secara bersamaan memungkinkan kita untuk memasuki masa kecil kita. Bagian dari kejeniusan Barry adalah bahwa ia menemukan dinding tengah yang keropos antara autobiografi dan fiksi (yang ia katakan dengan lucu tapi akurat sebagai “autobiofictionagraphy”). Orang mungkin secara kasar membayangkan diagram Venn dengan “sastra” sebagai irisan antara dua lingkaran kembar yang lebih besar, autobiografi dan fiksi. Sekarang bayangkan dua telur ceplok, setengah matang, dan sebuah garpu yang dengan gembira memecahkannya, membiarkan kuning telur itu mengalir ke mana-mana, sampai semuanya lengket, berantakan, tapi lezat: Yang dilakukan Barry adalah sapuan roti yang menyerap semuanya.

 


Setrip empat panel adalah format klasik lelucon sehari-hari, yang digunakan berkali-kali hingga ke titik generik: ada di mana-mana, tak disadari. Penyiapan, pengembangan, pengulangan, lalu punch line. Bounce, bounce, bounce, stop. Akan lebih baik jadinya jika berhenti di tempat yang tak terduga. Seseorang seperti Ernie Bushmiller (komikus Nancy), pekerja komik kawakan, dengan ketepatan yang unggul, dapat memeras dan menyarikan sesuatu yang sureal dari formula dasar ini dengan mengungkapkan keanehan yang terpendam dalam hal-hal duniawi. Kita terbenam oleh kekakuan, pengulangan, dan mudah ditebak, dan kemudian kita dengan cepat dilucuti. Charles Schulz akhirnya memodifikasi formula ini dengan setrip Peanuts-nya, menempa variasi yang lebih kompleks: penyiapan, pengembangan, punch line, dan pada panel terakhir, melanjutkan keberadaan yang tersisa, yang pada dasarnya berfungsi sebagai punch line kedua (kadang-kadang melankolis). Setrip dari tanggal 1 September 1960 di atas menunjukkan seberapa banyak cerita, penokohan, dan emosi yang dapat diuraikan dari kartun singkat berupa coretan, balon, dan goresan garis.

Ernie Pook's Comeek digambar oleh Barry dari 1979-2008, dan pada puncak kejayaannya hadir di tujuh puluh koran-koran alternatif (biasanya mingguan) di seluruh Amerika. Selama itu, setrip ini telah pula dikumpulkan menjadi buku (The Greatest of Marlys adalah salah satu jilid yang penting, diterbitkan kembali pada tahun 2016 oleh Drawn & Quarterly, yang sekarang menerbitkan karya-karya penting Barry, termasuk karya terbarunya). Tak mungkin untuk mencantumkan semua proyek-proyek yang dikerjakan Barry, yang mencakup memoar, novel grafis, novel reguler, penulisan naskah drama, radio, ceramah publik, lokakarya kreatif, materi perkuliahan, dan beberapa panduan pedagogis yang digambar-tulis-kolase yang inovatif. Ia pantas dianugerahi MacArthur Fellowship pada tahun 2019.

 


Pada awal abad sebelumnya, komik setrip adalah salah satu nilai jual utama koran-koran. Di pertengahan abad, mingguan/koran alternatif memperbolehkan kartunis untuk menyasar masalah orang dewasa secara lebih langsung dan terbuka. Tahun 1956, Jules Feiffer memulai setrip satirnya yang sangat berpengaruh (Feiffer) untuk Village Voice; koleksi buku pertamanya, Sick Sick Sick, punya judul yang rimanya mantap. Feiffer membuang batas panel gambar, hanya menyiratkan keberadaan kisi; bukan hal mudah, karena struktur kisi bayangan selalu jelas. Karya Lynda Barry sering muncul bersama karya teman sezamannya, Matt Groening, yang kadang menggunakan satu panel, sembilan, atau bahkan lima puluh panel, bergantian antara minimalisme dan maksimalisme. Batasan-batasan dalam bekerja di ruang yang terbatas (kertas juga menjadi sumber daya yang terbatas) bisa membebaskan: kartunis seperti Mark Alan Stamaty memadatkan dan memusatkan konten sambil bereksperimen tanpa henti pada struktur komik.

Sialnya, banyak koran, termasuk koran mingguan, telah menghilang, dan sebagian besar lainnya (secara pragmatis) berpindah ke media daring. Komik mungkin dulunya adalah lubang kelinci yang terletak di halaman kertas koran yang terbatas dan praktis, tapi hari ini kita menghabiskan sebagian besar waktu kita untuk mengintip melalui sebuah lubang hitam: layar yang saling terkait dengan kedalaman tak terhingga. Akankah komposisi statis berbasis cetak pada akhirnya menjadi barang antik dari masa lalu? Akankah bentuk baru akan muncul setelah ini?

Barry kerap mengutip bahwa komik setrip The Family Circus karya Bil Keane adalah tempat perlindungan, suar, dan inspirasinya. Sebagai seorang anak, ia dapat melarikan diri ke sebuah dunia kecil yang bundar, sebuah dunia tinta di atas kertas, di mana terdapat keberadaan yang lebih fungsional, stabil, tempat yang ramah untuk didatangi dan mungkin dirasa tak terlalu aneh, dan tak dihakimi. Barry menganugerahkan kepada kita semua, pembaca dan komikus, hadiah yang serupa. Dikutip dari bukunya yang terbaru, Making Comics:  “Cerita yang cocok untuk komik dapat ditemukan dalam ingatan tertentu seperti sebuah gambar. Semacam potret yang hidup, semacam ingatan yang bisa kau ubah”. Saya teringat pada komik setripnya Motion Picture (juga dari tahun 1988, dan juga layak untuk sebuah artikel), di mana sebuah kaca pembesar yang digoyangkan pelan di atas sebuah foto lama menciptakan gambar yang bergelombang, dan “waktu diam-diam dapat hidup kembali”.

 


 


 *Ivan Brunetti adalah seorang profesor di Columbia College Chicago, penulis  Cartooning: Philosophy and Practice and Comics: Easy as ABC, dan editor untuk kedua jilid  An Anthology of Graphic Fiction, Cartoons, and  True Stories. Karya gambarnya sesekali muncul di New Yorker, di antara publikasi lainnya.

Diterjemahkan secara bebas dari artikel berjudul Comics as Poetry oleh Ivan Brunetti, dimuat di The Paris Review pada 30 Januari 2020



Comments

Popular posts from this blog

Sedikit Catatan Soal Penerbitan Munnu: Bocah dari Kashmir

Buku Buku Kaum Pecinta Alam

Resensi Film: Main Kayu ( Dokumenter tentang Ketidak adilan Kehutanan di Jawa)