Berapa Harga Nasgor di Rumahmu?

"Omong-omong, Mugenzou ini perasaan kuambil dari komik Get Backers. Tapi pas kubaca ulang komiknya kok nggak ada yaa?" - Ricky P. Rikardi

Ricky P. Rikardi adalah sosok multitalenta. Ia menulis novela debut yang keren berjudul Waktunya Menutup Toko, menjadi vokalis, gitaris, dan penulis lagu untuk band bernama Puppyhansen, bekerja sebagai perawat fulltime di sebuah RS milik pemerintah di Jakarta, dan tentu saja: bapak rumah tangga.

Fakta itu seharusnya cukup untuk membuatmu pengen tahu lebih banyak tentang dirinya. Dan untuk itu, aku menuliskan obrolanku dengannya.



PGB: Bung Ricky, lagi sibuk nggak? Aku mau mewawancarai dirimu, nih. Buat blog

Ricky: Santai, Pak

PGB: Okelah, langsung ya. Sesuai tradisi ketimuran, pertanyaan pertamanya adalah: apa kabar, Bung Ricky?

Ricky: Hahaha. Kamu kok masih memegang adat ketimuran, Pak? Kabar baik. Kemarin aku abis swab, alhamdulillah hasilnya negatif.

PGB: Iya pak, mazhabku progresif konservatif. Ngomong-ngomong, dirimu kan menulis dan bermain band. Selama kamu mengerjakan keduanya itu, ini wawancara yang ke berapa?

Ricky: Sebagai penulis, kayaknya baru 3 kali, Pak. Pertama, oleh temanku buat blog dia. Dokter, tapi concern soal finansial gitu. Jadi blognya juga tentang finansial. Kedua, sama Mojokstore. Nah, ini yg ketiga.

Kalau sebagai pemain band rasanya aku belum pernah diinterview sama sekali. Hahaha

Ternyata dalam dua bidang itu, aku tetap aja obskur, Pak. Hahaha

PGB: Oh, aku baca itu yang soal finansial. Tapi yang Mojokstore belum. Ada link-nya ngga?

Ricky: Yang Mojokstore itu bukan buat di blog kayanya, Pak. Aku lupa buat apa ya? Tapi tadi aku cek di DM twitter udah dihapus.

PGB: Kamu apply lowongan kerja kali?

Ricky: Hahaha mereka waktu itu lagi bikin konten apa gitu. Jadi dapat bonus interview, hahaha.

PGB: Kalau bisa memilih pewawancara, kira-kira kamu mau diwawancarain siapa, bung?

Ricky: Aku sih biasanya nggak lihat sosok ya, Pak. Yang paling penting dia paham materi wawancara (misal, tentang bukuku atau bandku) dan bisa membawa wawancara kayak jadi obrolan biasa.

Tapi, mungkin diwawancara Dea Anugrah asik?

PGB: Selamat datang di asumsi distrik. Kali ini kita akan bahas distrik Mugenzou (menirukan Dea Anugrah di program Asumsi Distrik). By the way jawabanmu bikin aku minder nih, soalnya wawancara ini nggak ada konsepnya. Emang kenapa gitu pengen diwawancara Dea Anugrah?

Ricky: (Dea Anugrah) Wawasan bacaannya luas, terus ya itu dia bisa bawa wawancara jd kya ngobrol biasa, terus kita seumuran, dan i humor dia skrg mulai kebapak-bapakan. Jd sepertinya bakal nyambung.

Lebih enak yang nggak terkonsep, Pak. Biasanya jadi banyak kejutan

PGB: Bisa aja nih, mengangkat mentalku.

Ricky: Sesama medioker harus saling support, Pak. 🤝

Omong-omong, Mugenzou ini perasaan kuambil dari komik Get Backers. Tapi pas kubaca ulang komiknya kok nggak ada yaa? Hahaha

PGB: Omong-omong soal komik, kulihat di novelamu kan banyak referensi komiknya tuh. One Piece, The Pitcher, 20th Century Boys, dan ini fakta baru: Get Backers. Aku menyimpulkan dirimu adalah pembaca komik. Menurutmu posisi komik dalam dunia perbukuan gimana sih, pak?

Ricky: Hahahaha kamulah yang lebih pas disebut pembaca komik. Bacaan komikku sih masih terbatas, Pak. Nggak seluas novel, kayaknya. Tapi kan kamu nanya pendapatku, jadi ya coba kulihat dari kacamataku.

Yang kulihat, tiap ngomongin komik, yang orang-orang awam lihat selalu komik Jepang. Termasuk aku juga. Sebelum sekarang-sekarang akhirnya tahu kalau lokal juga ada. Dari situ kayaknya, opini ngasalku nih, komik kita masih didominasi sama Nippon. Nggak kayak novel, misalnya, yang penulis lokalnya juga banyak yg baca dan tahu. Masih bisa jadi tuan rumah di negeri sendiri. Hahaha

Oh iya satu lagi. Padahal dalam sejarahnya posisi komik lokal juga udah ada sejak lama kan, Pak? Yang macam Gundala, dan bahkan yg lebih lama lagi pun ada. Tp kenapa kayak ada kemandegan di satu titik. Kayak blasss, berhenti. Kalau novel, sastralah secara umum, bahkan ada generasinya. Ada angkatannya. Dari Balai Pustaka sampai Boemiputra.

PGB: Panjang ceritanya. Tapi yang kumaksud tadi adalah apakah kalau di kalangan penulis-penulis masih ada anggapan bahwa komik adalah bacaan kelas dua, misalnya.

Ricky: Oh kalau di kalangan penulis sih nggak ya, Pak. Kalau kalangan awam yg sering kutemuin tuh, kalau baca komik identik dengan bacaan-bacaan bocah. Kayak, lo kok kayak anak kecil bacanya komik

PGB: Dan dengan masukin referensi komik-komik di karyamu nggak bikin kamu takut dianggap kayak bocah juga?

Ricky: Oh nggak masalah sih, Pak, klo soal itu mah.

PGB: Masih soal komik, lagu berapa harga kroket di rumahmu itu emang lirik dalam komiknya begitu ya? Aku lupa euy.

Ricky: Hampir begitu, Pak. Nggak persis banget tapi. Karena kan kumodifikasi lagi, hahaha. Tapi garis besarnya hampir sama. Coba  kucari dulu, yes?

PGB: Nggak usah. Kucuma pengen ngulur2 waktu memperpanjang pembicaraan aja.

Ricky: Ini, Pak. Hahaha



PGB: Hahaha, dicariin. Ada komikus kesayangan, nggak?

Ricky: Yaa Naoki Urasawa, Pak. Hahaha. Mau kisah yang lebih seru lagi nggak, Pak?

PGB: Apa tuuuh?

Ricky: Lagu Berapa Harga Kroket di Rumahmu itu kutulis pas kelas 2/3 SMA kayaknya. Sebelumnya liriknya bahasa Inggris tapi culun gitu, sih. Aku sampai malu sendiri, hahaha. Terus pas aku mulai ngeband kupikir mau kuganti, ah. Pakai lirik bahasa Indonesia. Tapi, Pak, kuutak atik berkali-kali nggak pernah nemu lirik yang pas. Aku sampai putus asa. Hhh…

Suatu hari aku bolos kerja, tuh. Karena nganggur aku baca ulang 20th Century Boys sampai ke chapter yang ada lirik lagunya tadi. Terus pas kunyanyiin pakai nada laguku, lha kok masuk nih lirik! Hari itu langsung jadi liriknya. Butuh 5 tahun buat bisa dapat lirik yang pas.

PGB: Tapi kamu tahu nggak kalau Gutalala Sudalala itu ada lagunya beneran?

Ricky: Tahu juga, Pak. Tapi bagusan versiku, sih. Lebih punk! Hahaha

PGB: Kalau denger yang versimu aku teringat Cahaya Bulan-nya Netral

Ricky: Hahaha. Iya, mirip pas reffnya, Pak.

PGB: Dirimu kan multitalenta nih. Perawat, penulis, dan pemain band. Apa ngga capek, pak?

Ini pertanyaan nggak berbobot, tapi tetap ditanyain sembari mikir pertanyaan lain.

Ganti aja deh pertanyaannya.

Ricky: Pemain band udah nggak sih, Pak. Hahaha. Kalau penulis malah mungkin jatuhnya paruh waktu. Jadi aku fulltime perawat, nih. Capeknya ya capek secara fisik, sih. Kecuali mungkin kemarin pas angka covid naik lagi. Itu mental juga ikutan sakit kayaknya.

PGB: Iya. kayaknya nggak usah bahas itu. Semua orang kayaknya capek, sih. Pertanyaan bodoh.

Ini aja: di novelmu, kamu masukin referensi beberapa band dan bahkan lagumu sendiri. Di lirik lagumu yang judulnya Dinamit itu kamu masukkan referensi bacaanmu. Kayaknya Nietzsche, ya? Nah di dunia keperawatan, kamu pernah kasih lirik lagu atau kisah-kisah novel ke pasien nggak? Atau mungkin kutipan lirik lagu/novel yang kamu pakai dalam pekerjaanmu sebagai perawat.

Ricky: Nggak pernah, Pak. Paling aku nanyain suka lagu apa ke mereka? Jadi sebelum dibius kita setelin lagu kesukaan mereka.  Pernah dulu ada pasien beatlemania. Jadi sebelum bius kita malah nyanyi nyanyi Hey Jude dulu. Hahaha

PGB: Hahaha. Cocok pisan. The minute you let her under your skin then you begin to make it better. Kayaknya “her” di lirik itu emang obat bius, deh. Gimana menurutmu?

Ricky: Wooow, kamu sampai ke sana sih, mikirnya. Hahaha. Aku malah tahunya sesuai yang diceritain Paul, kalau lagu itu tentang Julian Lennon. Tapi kayaknya lagu itu sih periode sebelum Beatle ngeboti kan ya?

PGB: Nggak tahu, sih. Cuma asal ngomong aja.  Soalnya pas banget. Pas banget sama momenmu nyanyiin Hey Jude sebelum ngebius pasien.

By the way pertanyaan klise boleh ya?

Ricky: Bebas, Pak

PGB: Penulis yang mempengaruhimu siapa, bung? Yang membuatmu merasa “wah, aku harus menulis juga, nih”

Ricky: Kalau yang bikin sampai kayak gini sih, Eka Kurniawan, Pak. Bahkan ada masa aku pernah nyoba nulis mirip Cantik Itu Luka. Hahaha. Tp di novelaku kemarin aku malah banyak terinspirasi sama Salinger.

PGB: Hahaha kunggak pernah tahu ternyata penulis itu adalah Eka Kurniawan

Ricky: Iya. Beliau yang bikin aku berpikir, oh bisa yaa menulis seenaknya gitu.

PGB: Jadi kamu ngerasa Cantik Itu Luka ditulis seenaknya gitu? Eh, maksudnya "seenaknya" ini gimana?

Ricky: Iya. Pas pertama baca aku mikir, lho kok orang nulis seenaknya begini ya? Kayak kencing, tinggal buka celana, terus cuuuuur gitu. Seenaknya itu (di novel itu) beliau bikin kemerdekaan RI di Halimunda bukan tgl 17 Agustus. Terus Shodanco yang ditawarin gantiin Jendral Soedirman. Itu sih yang kumaksud "seenaknya"

PGB: Ooooh, hahaha. Goblog pisan, yah.

Ricky: Iya, Pak. Sebelumnya kupikir fakta macam itu nggak bisa dipermainkan kayak gitu, Pak. Macam kitab suci. Hahaha.

PGB: Soalnya kupikir itu novel mah rapi konsepnya. Tokoh-tokohny emang sengaja banget dipilihin sebagai metafora buat nggambarin Indonesia. Jadi aku kaget kalau kamu bilang itu seenaknya.

Ricky: Hahaha. Bukan itu. Seenaknya dalam bermain-main dengan fakta. Setelah baca macam-macam aku jadi paham kalau hal itu ternyata lazim dipakai.

PGB: Kalau sekarang, setelah baca macam-macam, siapa penulis yang lagi kamu senengin, nih?

Ricky: Pengen nulis kayak Safran Foer, Pak. Bagus banget.  Hhh… Dia nulis cerita yang bisa bikin dia eksperimen pake teks.

PGB: Duh aku beloman sempat beli, nih. Safran Foer. Bokek berat setahunan lebih ini.

Ricky: Aku juga baru baca yang Extremely Loud itu, sih. Tapi keren banget, Pak. Aku jadi terkagum-kagum

PGB: Kembali ke “setelah baca macam-macam”, kamu baca Laut Bercerita nggak sih? Ada pendapat?

Ricky: Nah ini belum, Pak. Aku kalau harus beli mah nggak mau ah. Tapi kalau ada yg pinjemin mau kubaca nih. Soalnya aku juga penasaran. Novel itu paling banyak disebut di akun litbase. Hahaha.

PGB: Hahaha... tiap hari pasti nongol tuh novel minimal 1 kali. Hebat, yah?

Ricky: Iya nih. Aku sempat berpikir mau ngitungin ada berapa kali dia sebut (Laut Bercerita) selama satu hari full?


PGB: Menurutmu apa yang membuat sebuah novel layak untuk disukai?

Ricky: Gaya bercerita. Ibarat masak mah, katakan masak nasgor. Bahan utamanya bisa sama. Tapi gimana cara dia bikin nasgornya beda dan lebih enak dari yg lain? Catcher In The Rye kan cuma nyeritain siswa DO tapi kok aku bisa betah bacanya, ya?

PGB: Iya juga ya. Nyeritain pemuda yang ragu ngutarain perasaannya ke cewek penjaga toko juga bikin betah bacanya (berusaha memuji)

Ngomong-ngomong, kenapa kamu suka bawa-bawa nasgor sih, pak? Di Waktunya Menutup Toko ada nasgor, di cerpen cerpenmu ada nasgor. Sekarang nasgor lagi. Ada cerita apa dibalik nasgor ini? Atau ada misi khusus, jadi duta nasgor?

Ricky: Ohiyaa ya, Pak. Bahkan ada satu bab khusus yang nyeritain nasgor. Aku punya hubungan spesial sih sama nasgor.

PGB: Apaa tuh?

Ricky: Jadi sampai SMP aku belum akrab sama nasgor. Nasgor yang kumakan cuma nasgor bikinan ibuku dan rasanya nggak enak. Pas SMA aku kan mulai kos, tuh. Jadi mulai cari makan sendiri. Dan cari makan yang ramah kantong kan, Pak? Jadi pilihannya terbatas. Kalau warung nasi malam-malam itu masakannya udah nggak enak, karena biasanya sisa (makanan) pagi atau sore. Jadi pilihannya makan pecel lele atau nasgor. Kebetulan dekat kosanku adanya tukang nasgor. Dan pas kucoba ternyata enak banget, Pak. Mulailah dari situ aku makan nasgor. Hampir tiap malam aku makan nasgor.

Dan setelah melakukan penelitian secara iseng-iseng, aku nemuin kalau rasa nasgor itu nggak ada yang sama. Tiap penjual punya signaturenya sendiri.

PGB: Untung yang pertama dicobain itu nasgor enak. Ada kriterianya nggak Pak, yang enak itu yang gimana?

Ricky: Nah ini kriterianya itu nggak bisa ditentuin, Pak. Maksudnya nggak keliatan dari luar. Kayak misalnya tempatnya yang kayak gmn, atau gerobaknya model apa. Memang harus dicobain secara langsung, Pak.

Oh iya, kecuali nasgor di hotel atau kereta api. Rasanya nggak pernah enak..: asumsi umum memang begitu pak. nasgor hotel ngga enak, apalagi nasgor kereta api.

PGB: Asumsi umum memang begitu. Nasgor hotel nggak enak, apalagi nasgor kereta api.

Ricky: Sejauh ini aku belum nemu yg enak sih. Hahaha

PGB: Jadi itu sebabnya kamu sering masukin nasgor di cerita-ceritamu?

Ricky: Ya mungkin secara nggak sadar begitu, Pak. Karena nasgor adalah masakan yg akrab denganku jadi aku bisa menulis lebih banyak tentangnya

PGB: Berdasarkan pengamatanmu, ada nggak penulis lain yang juga suka masukin makanan makanan umum gini ke novelnya.

Ricky: Yang kuingat sih Dio (Sabda Armandio Alif) di “Kamu” masukin mi goreng. Yang lain aku nggak ingat. Apa emang nggak nemu, yaa?

PGB: Ada rekomendasi nasgor buat dicobain nggak? Buat pembaca nih. Siapa tahu ada yang butuh rekomendasi

Ricky: Di Jakarta aku belum nemu sih. Tapi kukasih tahu 2 hal ini: Nasgor Kebon Sirih sama Nasgor Gila Obama nggak enak.

(Ricky mengirimkan ulasannya untuk Nasi Goreng Gila Gondrong Obama 01 Menteng ini di Google Maps, di sini)

Kalau di Tambun sih aku punya 3 tempat nasgor yang enak, hahaha

PGB: Ini aku tahu sih,

Ricky: Nggak enak, Pak. Rugi.

PGB: Harganya ngeri. Yang enak nasgor di sabang

Ricky: Iya. Nggak worth it, Pak. Ricky: Oh iya, yang dekat Garuda nih lumayan, Pak.

PGB: Betuuul! Itu dia

Ricky: Ah iya. Aku baru ingat. Masuk laah itu. Sama ke sebelah sananya lagi ada juga yang lumayan. Arah ke Toko Bahagia. Dekat tukang soto apa sate gitu

PGB: Eh, balik ke Get Backers di awal tadi, Pak.Itu kan kalo nggak salah ingat mereka bisa ngembaliin barang-barang yang hilang. Betul nggak?

Ricky: Yha betul, Pak.

PGB: Nah, kalo kamu bisa nyewa jasanya mereka, kamu mau minta mereka ngembaliin barang apa?

Ricky: Airpodku yang bulan lalu hilang, Pak. Itu hadiah ultah soalnya 😭 Sama koleksi tazos Pokemonku. Bukan ilang sebetulnya tapi dibuang

PGB: Beli lagi aja, Pak.

***

Sekitar jam 23.00 WIB, obrolan kami terhenti. Hampir tengah malam, soalnya. Ngantuk. Obrolannya juga membosankan, barangkali. Besoknya, obrolan berlanjut.

***

Ricky: Sori, Pak. Semalam aku ketiduran. Lupa mau ngasih rekomendasi rokok, Pak. Djarcok Extra, susah nyarinya, tapi enak.



PGB: Wah, pas ini. Kenapa kita nggak ngomongin rekomendasi rokok. Kalau kamu harus ngasih rekomendasi 3 merek rokok ke orang-orang, rokok apa itu?

Ricky: (1) Yang pasti adalah Gudang Garam Merah. (2) Djarcok Extra (3) Commodore. Rokok putihan lokal, tapi rasanya nggak kalah sama Marlboro

PGB: Gudang Garam Merah emang enak. Aku jadi ketagihan juga.

Ricky: Juara ini, Pak. Aku kayak menemukan jodohku. Aku tahu Gudang Garam Merah tuh dari majalah Tempo, edisi Pak Ali Moertopo

PGB: Gimana ceritanya, nih?

Ricky: Di situ dibilang rokoknya Pak Ali itu Gudang Garam Merah, Pak. Sehari bisa habis 3-4 bungkus.

Tapi waktu itu aku nggak penasaran langsung nyoba. Baru nyobain macam-macam rokok itu belakangan ini habis liat IG-nya Rokok Indonesia. Dia kan sering nyobain macam macam merk rokok, kan? Terus pas nyobain Gudang Garam Merah, eh langsung cocok. Hahaha

PGB: Apakah kamu percaya kalau, seperti buku yang katanya akan menemukan pembacanya, rokok juga akan menemukan penghisapnya?

Ricky: Ini lebih ke "bukan samurai yang memilih pedangnya, tapi pedang yang memilih samurainya"

PGB: Kupikir kamu akan bilang “rokok yang terbakar tidak akan membenci korek api”

Ricky: Hahaha. Kamu jago juga bikin judul, Pak.

PGB: Kenapa kamu merasa harus ngikutin Ali Moertopo? Bukan Sudomo atau Harmoko, gitu?

Ricky: Sebenernya bukan mau ngikutin. Tapi ternyata rokoknya cocok aja. Tapi beliau keren juga sih, Pak. Think tanknya Pak Harto. Gurunya LB Moerdani. Fusi 3 partai juga kan idenya beliau

PGB: Keren keren Orde Baru.

Ricky: Salah satu timses Orba, Pak hahaha

PGB: Ngomong-ngomong soal Orba, apa sih yang paling kamu inget di jaman orba? Pengalam pribadi aja.  Masih sempat mengalami kan, era-era sebelum 98?

Ricky: Pernah ada momen, waktu itu aku kelas 1 apa 2 SD, ortuku lagi ngomongin apa gitu soal pemerintah. Aku cuma nyimak aja tapi kan nggak ngerti. Terus aku nyeletuk, “huuu dasar pemerintah berat sebelah!”. Langsung ditegur sama bapak. “Heh, nggak boleh ngomong kayak gitu!”

Di masa senja kalanya aja Orba masih menyeramkan ternyata, Pak. Tapi waktu itu aku nggak paham kenapa Baru kejawab pas aku udah gede

PGB: Kamu ngejoke soal Orba di novelamu ada yang ngeh nggak, sih?

Ricky: Yang terakhir ngereview tuh ngeh, Pak. Hahaha. Yang lain mungkin yang tahu tentang Orba aja yang ngerti joke itu.

PGB: Ada yang pernah komentar aneh nggak pak, soal novelamu?

Ricky: Ada yang pernah ngira itu queer novel. Tentang gay. Hahaha

PGB: Oh ya? Responmu gimana?

Ricky: Tadinya sih mau kubiarin aja. Tapi dia akhirnya tahu sendiri. Hahaha.

PGB: Terus, di Goodreads ada juga yang bilang novelmu mengingatkannya dengan karya Ryu Murakami. Gimana menurutmu?

Ricky: Wah aku tersanjung juga jadinya. Aku baca Ryu Murakami lebih asik sih ketimbang Haruki. Hahaha. Bebas, sih. Aku justru lebih seneng kalau ada yang punya interpretasi lain tentang novel itu.

 PGB: Terus ada juga yang nanya, si Iki Poppunk itu tahu dari mana kalau jumlah lalat di kepalanya itu tepat 207, bukan 200 atau 208? Kamu mau jawab ini, nggak?

Ricky: Sebetulnya itu teknik menulis aja, sih. Katanya lebih baik menulis jumlah yang spesifik. Daripada nulis ratusan lalat, tulis aja 207 ekor.

PGB: Jadi 207 ini bukan kode tertentu?

Ricky: Kode juga itu, Pak. Tanggal lahir kawanku, Aldino. Hahaha

PGB: Lagi ada project baru nggak? Cerita, dong!

Ricky: Nggak ada. Aku nulis aja macet terus selama bertahun tahun, nih.

PGB: Mungkin perlu ganti metode? Dari digital ke analog?

Ricky: Mungkin aku aja yang terlalu pemalas, sih. Hahaha.

PGB: Terakhir, Pak. Kali ada komentar soal skena sastra Indonesia?

Ricky: Lebih mudah membayangkan AS Laksana sebagai makanan ketimbang sastrawan.

 ***

Obrolan berakhir, tapi aku nggak tahu apa maksud kalimat terakhirnya ini. Dan Ricky memberikan sebuah joke:

Makanan, makanan apa yg sastrawan? 

AS Lasagna. 

SEKIAN

(Ciputat, Agustus 2021)

Comments

  1. Uwenak rek tulisane, kok aku melu seneng ngunu lho pas maca iki. Mungkin iki gara2 aku kangen kancaku sing mbiyen akrab banget tapi wis mati. Dekne asik uwonge dan seneng banget maca buku. Dadi orbolabpa ae dekne iki isa digawe selow isa digawe rada intelek dan merga merujuk sesuatu nang buku sing mbarai aku terinspirasi. Obrolane sampeab wong 2 iki mbarai aku kangen pingin ngobrol kro kancaku kui maneh, mben nek dekne urip maneh tak ajake ngobrol.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oiya sebenere aku iki lagi bersih2 marka ning twitter. Pas tak delok2 siji2 karo menghapus-hapus terus trit iki gilirane tak hapus. Tapi tak bukak disik ben eruh iki tenatng apa seeh.... Eh tibake seruuuu. Gak sida tak hapus, mben nek kangen kanca tak maca iki maneh.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sedikit Catatan Soal Penerbitan Munnu: Bocah dari Kashmir

Buku Buku Kaum Pecinta Alam

Resensi Film: Main Kayu ( Dokumenter tentang Ketidak adilan Kehutanan di Jawa)