Berapa Harga Nasgor di Rumahmu?
"Omong-omong, Mugenzou ini perasaan kuambil dari komik Get Backers. Tapi pas kubaca ulang komiknya kok nggak ada yaa?" - Ricky P. Rikardi
Fakta itu
seharusnya cukup untuk membuatmu pengen tahu lebih banyak tentang dirinya. Dan
untuk itu, aku menuliskan obrolanku dengannya.
PGB: Bung Ricky, lagi sibuk nggak? Aku mau mewawancarai dirimu, nih. Buat blog
Ricky:
Santai, Pak
PGB: Okelah, langsung ya. Sesuai tradisi
ketimuran, pertanyaan pertamanya adalah: apa kabar, Bung Ricky?
Ricky:
Hahaha. Kamu kok masih memegang adat ketimuran, Pak? Kabar baik. Kemarin aku
abis swab, alhamdulillah hasilnya negatif.
PGB: Iya pak, mazhabku progresif konservatif.
Ngomong-ngomong, dirimu kan menulis dan bermain band. Selama kamu mengerjakan
keduanya itu, ini wawancara yang ke berapa?
Ricky:
Sebagai penulis, kayaknya baru 3 kali, Pak. Pertama, oleh temanku buat blog
dia. Dokter, tapi concern soal finansial gitu. Jadi blognya juga tentang
finansial. Kedua, sama Mojokstore. Nah, ini yg ketiga.
Kalau
sebagai pemain band rasanya aku belum pernah diinterview sama sekali. Hahaha
Ternyata
dalam dua bidang itu, aku tetap aja obskur, Pak. Hahaha
PGB: Oh, aku baca itu yang soal finansial. Tapi
yang Mojokstore belum. Ada link-nya ngga?
Ricky: Yang
Mojokstore itu bukan buat di blog kayanya, Pak. Aku lupa buat apa ya? Tapi tadi
aku cek di DM twitter udah dihapus.
PGB: Kamu apply
lowongan kerja kali?
Ricky:
Hahaha mereka waktu itu lagi bikin konten apa gitu. Jadi dapat bonus interview,
hahaha.
PGB: Kalau bisa memilih pewawancara, kira-kira kamu
mau diwawancarain siapa, bung?
Ricky: Aku
sih biasanya nggak lihat sosok ya, Pak. Yang paling penting dia paham materi
wawancara (misal, tentang bukuku atau bandku) dan bisa membawa wawancara kayak
jadi obrolan biasa.
Tapi,
mungkin diwawancara Dea Anugrah asik?
PGB: Selamat datang di asumsi distrik. Kali ini
kita akan bahas distrik Mugenzou (menirukan Dea Anugrah di program Asumsi
Distrik). By the way jawabanmu bikin aku minder nih, soalnya wawancara ini nggak
ada konsepnya. Emang kenapa gitu pengen diwawancara Dea Anugrah?
Ricky: (Dea
Anugrah) Wawasan bacaannya luas, terus ya itu dia bisa bawa wawancara jd kya
ngobrol biasa, terus kita seumuran, dan i humor dia skrg mulai kebapak-bapakan.
Jd sepertinya bakal nyambung.
Lebih enak
yang nggak terkonsep, Pak. Biasanya jadi banyak kejutan
PGB: Bisa aja nih, mengangkat mentalku.
Ricky:
Sesama medioker harus saling support, Pak. 🤝
Omong-omong,
Mugenzou ini perasaan kuambil dari komik Get Backers. Tapi pas kubaca ulang
komiknya kok nggak ada yaa? Hahaha
PGB: Omong-omong soal komik, kulihat di novelamu
kan banyak referensi komiknya tuh. One Piece, The Pitcher, 20th Century Boys,
dan ini fakta baru: Get Backers. Aku menyimpulkan dirimu adalah pembaca komik.
Menurutmu posisi komik dalam dunia perbukuan gimana sih, pak?
Ricky:
Hahahaha kamulah yang lebih pas disebut pembaca komik. Bacaan komikku sih masih
terbatas, Pak. Nggak seluas novel, kayaknya. Tapi kan kamu nanya pendapatku, jadi
ya coba kulihat dari kacamataku.
Yang kulihat,
tiap ngomongin komik, yang orang-orang awam lihat selalu komik Jepang. Termasuk
aku juga. Sebelum sekarang-sekarang akhirnya tahu kalau lokal juga ada. Dari
situ kayaknya, opini ngasalku nih, komik kita masih didominasi sama Nippon.
Nggak kayak novel, misalnya, yang penulis lokalnya juga banyak yg baca dan
tahu. Masih bisa jadi tuan rumah di negeri sendiri. Hahaha
Oh iya satu
lagi. Padahal dalam sejarahnya posisi komik lokal juga udah ada sejak lama kan,
Pak? Yang macam Gundala, dan bahkan yg lebih lama lagi pun ada. Tp kenapa kayak
ada kemandegan di satu titik. Kayak blasss, berhenti. Kalau novel, sastralah
secara umum, bahkan ada generasinya. Ada angkatannya. Dari Balai Pustaka sampai
Boemiputra.
PGB: Panjang ceritanya. Tapi yang kumaksud tadi
adalah apakah kalau di kalangan penulis-penulis masih ada anggapan bahwa komik
adalah bacaan kelas dua, misalnya.
Ricky: Oh
kalau di kalangan penulis sih nggak ya, Pak. Kalau kalangan awam yg sering kutemuin
tuh, kalau baca komik identik dengan bacaan-bacaan bocah. Kayak, lo kok kayak
anak kecil bacanya komik
PGB: Dan dengan masukin referensi komik-komik di
karyamu nggak bikin kamu takut dianggap kayak bocah juga?
Ricky: Oh
nggak masalah sih, Pak, klo soal itu mah.
PGB: Masih soal komik, lagu berapa harga kroket
di rumahmu itu emang lirik dalam komiknya begitu ya? Aku lupa euy.
Ricky:
Hampir begitu, Pak. Nggak persis banget tapi. Karena kan kumodifikasi lagi,
hahaha. Tapi garis besarnya hampir sama. Coba
kucari dulu, yes?
PGB: Nggak usah. Kucuma pengen ngulur2 waktu
memperpanjang pembicaraan aja.
Ricky: Ini,
Pak. Hahaha
PGB: Hahaha, dicariin. Ada komikus kesayangan, nggak?
Ricky: Yaa
Naoki Urasawa, Pak. Hahaha. Mau kisah yang lebih seru lagi nggak, Pak?
PGB: Apa tuuuh?
Ricky: Lagu
Berapa Harga Kroket di Rumahmu itu kutulis pas kelas 2/3 SMA kayaknya. Sebelumnya
liriknya bahasa Inggris tapi culun gitu, sih. Aku sampai malu sendiri, hahaha. Terus
pas aku mulai ngeband kupikir mau kuganti, ah. Pakai lirik bahasa Indonesia.
Tapi, Pak, kuutak atik berkali-kali nggak pernah nemu lirik yang pas. Aku sampai
putus asa. Hhh…
Suatu hari aku
bolos kerja, tuh. Karena nganggur aku baca ulang 20th Century Boys sampai ke
chapter yang ada lirik lagunya tadi. Terus pas kunyanyiin pakai nada laguku,
lha kok masuk nih lirik! Hari itu langsung jadi liriknya. Butuh 5 tahun buat bisa
dapat lirik yang pas.
PGB: Tapi kamu tahu nggak kalau Gutalala Sudalala
itu ada lagunya beneran?
Ricky: Tahu
juga, Pak. Tapi bagusan versiku, sih. Lebih punk! Hahaha
PGB: Kalau denger yang versimu aku teringat Cahaya
Bulan-nya Netral
Ricky: Hahaha.
Iya, mirip pas reffnya, Pak.
PGB: Dirimu kan multitalenta nih. Perawat,
penulis, dan pemain band. Apa ngga capek, pak?
Ini pertanyaan nggak berbobot, tapi tetap
ditanyain sembari mikir pertanyaan lain.
Ganti aja deh pertanyaannya.
Ricky: Pemain
band udah nggak sih, Pak. Hahaha. Kalau penulis malah mungkin jatuhnya paruh
waktu. Jadi aku fulltime perawat, nih. Capeknya ya capek secara fisik, sih.
Kecuali mungkin kemarin pas angka covid naik lagi. Itu mental juga ikutan sakit
kayaknya.
PGB: Iya. kayaknya nggak usah bahas itu. Semua
orang kayaknya capek, sih. Pertanyaan bodoh.
Ini aja: di novelmu, kamu masukin referensi
beberapa band dan bahkan lagumu sendiri. Di lirik lagumu yang judulnya Dinamit
itu kamu masukkan referensi bacaanmu. Kayaknya Nietzsche, ya? Nah di dunia
keperawatan, kamu pernah kasih lirik lagu atau kisah-kisah novel ke pasien nggak?
Atau mungkin kutipan lirik lagu/novel yang kamu pakai dalam pekerjaanmu sebagai
perawat.
Ricky:
Nggak pernah, Pak. Paling aku nanyain suka lagu apa ke mereka? Jadi sebelum
dibius kita setelin lagu kesukaan mereka. Pernah dulu ada pasien beatlemania. Jadi
sebelum bius kita malah nyanyi nyanyi Hey Jude dulu. Hahaha
PGB: Hahaha. Cocok pisan. The minute you let her under your skin then you begin to make it better.
Kayaknya “her” di lirik itu emang obat bius, deh. Gimana menurutmu?
Ricky:
Wooow, kamu sampai ke sana sih, mikirnya. Hahaha. Aku malah tahunya sesuai yang
diceritain Paul, kalau lagu itu tentang Julian Lennon. Tapi kayaknya lagu itu sih
periode sebelum Beatle ngeboti kan ya?
PGB: Nggak tahu, sih. Cuma asal ngomong aja. Soalnya pas banget. Pas banget sama momenmu
nyanyiin Hey Jude sebelum ngebius pasien.
By the way pertanyaan klise boleh ya?
Ricky:
Bebas, Pak
PGB: Penulis yang mempengaruhimu siapa, bung? Yang
membuatmu merasa “wah, aku harus menulis juga, nih”
Ricky: Kalau
yang bikin sampai kayak gini sih, Eka Kurniawan, Pak. Bahkan ada masa aku
pernah nyoba nulis mirip Cantik Itu Luka. Hahaha. Tp di novelaku kemarin aku
malah banyak terinspirasi sama Salinger.
PGB: Hahaha kunggak pernah tahu ternyata penulis
itu adalah Eka Kurniawan
Ricky: Iya.
Beliau yang bikin aku berpikir, oh bisa yaa menulis seenaknya gitu.
PGB: Jadi kamu ngerasa Cantik Itu Luka ditulis
seenaknya gitu? Eh, maksudnya "seenaknya" ini gimana?
Ricky: Iya.
Pas pertama baca aku mikir, lho kok orang nulis seenaknya begini ya? Kayak
kencing, tinggal buka celana, terus cuuuuur gitu. Seenaknya itu (di novel itu)
beliau bikin kemerdekaan RI di Halimunda bukan tgl 17 Agustus. Terus Shodanco yang
ditawarin gantiin Jendral Soedirman. Itu sih yang kumaksud
"seenaknya"
PGB: Ooooh, hahaha. Goblog pisan, yah.
Ricky: Iya,
Pak. Sebelumnya kupikir fakta macam itu nggak bisa dipermainkan kayak gitu,
Pak. Macam kitab suci. Hahaha.
PGB: Soalnya kupikir itu novel mah rapi konsepnya.
Tokoh-tokohny emang sengaja banget dipilihin sebagai metafora buat nggambarin Indonesia.
Jadi aku kaget kalau kamu bilang itu seenaknya.
Ricky:
Hahaha. Bukan itu. Seenaknya dalam bermain-main dengan fakta. Setelah baca
macam-macam aku jadi paham kalau hal itu ternyata lazim dipakai.
PGB: Kalau sekarang, setelah baca macam-macam,
siapa penulis yang lagi kamu senengin, nih?
Ricky:
Pengen nulis kayak Safran Foer, Pak. Bagus banget. Hhh… Dia nulis cerita yang bisa bikin dia
eksperimen pake teks.
PGB: Duh aku beloman sempat beli, nih. Safran
Foer. Bokek berat setahunan lebih ini.
Ricky: Aku
juga baru baca yang Extremely Loud itu, sih. Tapi keren banget, Pak. Aku jadi
terkagum-kagum
PGB: Kembali ke “setelah baca macam-macam”, kamu
baca Laut Bercerita nggak sih? Ada pendapat?
Ricky: Nah
ini belum, Pak. Aku kalau harus beli mah nggak mau ah. Tapi kalau ada yg
pinjemin mau kubaca nih. Soalnya aku juga penasaran. Novel itu paling banyak
disebut di akun litbase. Hahaha.
PGB: Hahaha... tiap hari pasti nongol tuh novel
minimal 1 kali. Hebat, yah?
Ricky: Iya
nih. Aku sempat berpikir mau ngitungin ada berapa kali dia sebut (Laut
Bercerita) selama satu hari full?
Ini ceritanya kya Spongebob gitu yaa, Nder?
— Nikholai Crutskii (@crutskii) August 4, 2021
Oh kirain bener. Aku kira trilogi gitu, ada Laut Bercerita, Langit Bercerita, sama Darat Bercerita
— Nikholai Crutskii (@crutskii) August 5, 2021
PGB: Menurutmu apa yang membuat sebuah novel
layak untuk disukai?
Ricky: Gaya
bercerita. Ibarat masak mah, katakan masak nasgor. Bahan utamanya bisa sama. Tapi
gimana cara dia bikin nasgornya beda dan lebih enak dari yg lain? Catcher In
The Rye kan cuma nyeritain siswa DO tapi kok aku bisa betah bacanya, ya?
PGB: Iya juga ya. Nyeritain pemuda yang ragu
ngutarain perasaannya ke cewek penjaga toko juga bikin betah bacanya (berusaha
memuji)
Ngomong-ngomong, kenapa kamu suka bawa-bawa
nasgor sih, pak? Di Waktunya Menutup Toko ada nasgor, di cerpen cerpenmu ada
nasgor. Sekarang nasgor lagi. Ada cerita apa dibalik nasgor ini? Atau ada misi
khusus, jadi duta nasgor?
Ricky:
Ohiyaa ya, Pak. Bahkan ada satu bab khusus yang nyeritain nasgor. Aku punya
hubungan spesial sih sama nasgor.
PGB: Apaa tuh?
Ricky: Jadi
sampai SMP aku belum akrab sama nasgor. Nasgor yang kumakan cuma nasgor bikinan
ibuku dan rasanya nggak enak. Pas SMA aku kan mulai kos, tuh. Jadi mulai cari
makan sendiri. Dan cari makan yang ramah kantong kan, Pak? Jadi pilihannya
terbatas. Kalau warung nasi malam-malam itu masakannya udah nggak enak, karena
biasanya sisa (makanan) pagi atau sore. Jadi pilihannya makan pecel lele atau
nasgor. Kebetulan dekat kosanku adanya tukang nasgor. Dan pas kucoba ternyata
enak banget, Pak. Mulailah dari situ aku makan nasgor. Hampir tiap malam aku makan
nasgor.
Dan setelah
melakukan penelitian secara iseng-iseng, aku nemuin kalau rasa nasgor itu nggak
ada yang sama. Tiap penjual punya signaturenya sendiri.
PGB: Untung yang pertama dicobain itu nasgor
enak. Ada kriterianya nggak Pak, yang enak itu yang gimana?
Ricky: Nah
ini kriterianya itu nggak bisa ditentuin, Pak. Maksudnya nggak keliatan dari
luar. Kayak misalnya tempatnya yang kayak gmn, atau gerobaknya model apa. Memang
harus dicobain secara langsung, Pak.
Oh iya,
kecuali nasgor di hotel atau kereta api. Rasanya nggak pernah enak..: asumsi
umum memang begitu pak. nasgor hotel ngga enak, apalagi nasgor kereta api.
PGB: Asumsi umum memang begitu. Nasgor hotel
nggak enak, apalagi nasgor kereta api.
Ricky:
Sejauh ini aku belum nemu yg enak sih. Hahaha
PGB: Jadi itu sebabnya kamu sering masukin nasgor
di cerita-ceritamu?
Ricky: Ya
mungkin secara nggak sadar begitu, Pak. Karena nasgor adalah masakan yg akrab
denganku jadi aku bisa menulis lebih banyak tentangnya
PGB: Berdasarkan pengamatanmu, ada nggak penulis
lain yang juga suka masukin makanan makanan umum gini ke novelnya.
Ricky: Yang
kuingat sih Dio (Sabda Armandio Alif) di “Kamu” masukin mi goreng. Yang lain aku
nggak ingat. Apa emang nggak nemu, yaa?
PGB: Ada rekomendasi nasgor buat dicobain nggak? Buat
pembaca nih. Siapa tahu ada yang butuh rekomendasi
Ricky: Di
Jakarta aku belum nemu sih. Tapi kukasih tahu 2 hal ini: Nasgor Kebon Sirih
sama Nasgor Gila Obama nggak enak.
(Ricky mengirimkan ulasannya untuk Nasi Goreng
Gila Gondrong Obama 01 Menteng ini di Google Maps, di sini)
Kalau di
Tambun sih aku punya 3 tempat nasgor yang enak, hahaha
PGB: Ini aku tahu sih,
Ricky:
Nggak enak, Pak. Rugi.
PGB: Harganya ngeri. Yang enak nasgor di sabang
Ricky: Iya.
Nggak worth it, Pak. Ricky: Oh iya, yang dekat Garuda nih lumayan, Pak.
PGB: Betuuul! Itu dia
Ricky: Ah
iya. Aku baru ingat. Masuk laah itu. Sama ke sebelah sananya lagi ada juga yang
lumayan. Arah ke Toko Bahagia. Dekat tukang soto apa sate gitu
PGB: Eh, balik ke Get Backers di awal tadi, Pak.Itu
kan kalo nggak salah ingat mereka bisa ngembaliin barang-barang yang hilang. Betul
nggak?
Ricky: Yha
betul, Pak.
PGB: Nah,
kalo kamu bisa nyewa jasanya mereka, kamu mau minta mereka ngembaliin barang
apa?
Ricky:
Airpodku yang bulan lalu hilang, Pak. Itu hadiah ultah soalnya 😭 Sama koleksi tazos Pokemonku. Bukan ilang sebetulnya tapi dibuang
PGB: Beli lagi aja, Pak.
***
Sekitar jam 23.00 WIB, obrolan kami terhenti. Hampir tengah malam, soalnya. Ngantuk. Obrolannya juga membosankan, barangkali. Besoknya, obrolan berlanjut.
***
Ricky: Sori, Pak. Semalam aku ketiduran. Lupa mau ngasih rekomendasi rokok, Pak. Djarcok Extra, susah nyarinya, tapi enak.
PGB: Wah, pas ini. Kenapa kita nggak ngomongin
rekomendasi rokok. Kalau kamu harus ngasih rekomendasi 3 merek rokok ke orang-orang,
rokok apa itu?
Ricky: (1)
Yang pasti adalah Gudang Garam Merah. (2) Djarcok Extra (3) Commodore. Rokok
putihan lokal, tapi rasanya nggak kalah sama Marlboro
PGB: Gudang Garam Merah emang enak. Aku jadi
ketagihan juga.
Ricky:
Juara ini, Pak. Aku kayak menemukan jodohku. Aku tahu Gudang Garam Merah tuh dari
majalah Tempo, edisi Pak Ali Moertopo
PGB: Gimana ceritanya, nih?
Ricky: Di
situ dibilang rokoknya Pak Ali itu Gudang Garam Merah, Pak. Sehari bisa habis
3-4 bungkus.
Tapi waktu
itu aku nggak penasaran langsung nyoba. Baru nyobain macam-macam rokok itu
belakangan ini habis liat IG-nya Rokok Indonesia. Dia kan sering nyobain macam
macam merk rokok, kan? Terus pas nyobain Gudang Garam Merah, eh langsung cocok.
Hahaha
PGB: Apakah kamu percaya kalau, seperti buku yang
katanya akan menemukan pembacanya, rokok juga akan menemukan penghisapnya?
Ricky: Ini
lebih ke "bukan samurai yang memilih pedangnya, tapi pedang yang memilih
samurainya"
PGB: Kupikir kamu akan bilang “rokok yang
terbakar tidak akan membenci korek api”
Ricky:
Hahaha. Kamu jago juga bikin judul, Pak.
PGB: Kenapa kamu merasa harus ngikutin Ali
Moertopo? Bukan Sudomo atau Harmoko, gitu?
Ricky: Sebenernya
bukan mau ngikutin. Tapi ternyata rokoknya cocok aja. Tapi beliau keren juga
sih, Pak. Think tanknya Pak Harto. Gurunya LB Moerdani. Fusi 3 partai juga kan
idenya beliau
PGB: Keren keren Orde Baru.
Ricky: Salah
satu timses Orba, Pak hahaha
PGB: Ngomong-ngomong soal Orba, apa sih yang
paling kamu inget di jaman orba? Pengalam pribadi aja. Masih sempat mengalami kan, era-era sebelum
98?
Ricky:
Pernah ada momen, waktu itu aku kelas 1 apa 2 SD, ortuku lagi ngomongin apa
gitu soal pemerintah. Aku cuma nyimak aja tapi kan nggak ngerti. Terus aku
nyeletuk, “huuu dasar pemerintah berat sebelah!”. Langsung ditegur sama bapak. “Heh,
nggak boleh ngomong kayak gitu!”
Di masa
senja kalanya aja Orba masih menyeramkan ternyata, Pak. Tapi waktu itu aku
nggak paham kenapa Baru kejawab pas aku udah gede
PGB: Kamu ngejoke soal Orba di novelamu ada yang
ngeh nggak, sih?
Ricky: Yang
terakhir ngereview tuh ngeh, Pak. Hahaha. Yang lain mungkin yang tahu tentang
Orba aja yang ngerti joke itu.
PGB: Ada yang pernah komentar aneh nggak pak,
soal novelamu?
Ricky: Ada
yang pernah ngira itu queer novel. Tentang gay. Hahaha
PGB: Oh ya? Responmu gimana?
Ricky: Tadinya
sih mau kubiarin aja. Tapi dia akhirnya tahu sendiri. Hahaha.
PGB: Terus, di Goodreads ada juga yang bilang
novelmu mengingatkannya dengan karya Ryu Murakami. Gimana menurutmu?
Ricky: Wah aku
tersanjung juga jadinya. Aku baca Ryu Murakami lebih asik sih ketimbang Haruki.
Hahaha. Bebas, sih. Aku justru lebih seneng kalau ada yang punya interpretasi
lain tentang novel itu.
PGB: Terus
ada juga yang nanya, si Iki Poppunk itu tahu dari mana kalau jumlah lalat di
kepalanya itu tepat 207, bukan 200 atau 208? Kamu mau jawab ini, nggak?
Ricky:
Sebetulnya itu teknik menulis aja, sih. Katanya lebih baik menulis jumlah yang
spesifik. Daripada nulis ratusan lalat, tulis aja 207 ekor.
PGB: Jadi 207 ini bukan kode tertentu?
Ricky: Kode
juga itu, Pak. Tanggal lahir kawanku, Aldino. Hahaha
PGB: Lagi ada project baru nggak? Cerita, dong!
Ricky: Nggak
ada. Aku nulis aja macet terus selama bertahun tahun, nih.
PGB: Mungkin perlu ganti metode? Dari digital ke
analog?
Ricky:
Mungkin aku aja yang terlalu pemalas, sih. Hahaha.
PGB: Terakhir, Pak. Kali ada komentar soal skena
sastra Indonesia?
Ricky:
Lebih mudah membayangkan AS Laksana sebagai makanan ketimbang sastrawan.
Obrolan berakhir, tapi aku nggak
tahu apa maksud kalimat terakhirnya ini. Dan Ricky memberikan sebuah joke:
Makanan, makanan apa yg sastrawan?
AS Lasagna.
SEKIAN
(Ciputat, Agustus 2021)
Uwenak rek tulisane, kok aku melu seneng ngunu lho pas maca iki. Mungkin iki gara2 aku kangen kancaku sing mbiyen akrab banget tapi wis mati. Dekne asik uwonge dan seneng banget maca buku. Dadi orbolabpa ae dekne iki isa digawe selow isa digawe rada intelek dan merga merujuk sesuatu nang buku sing mbarai aku terinspirasi. Obrolane sampeab wong 2 iki mbarai aku kangen pingin ngobrol kro kancaku kui maneh, mben nek dekne urip maneh tak ajake ngobrol.
ReplyDeleteOiya sebenere aku iki lagi bersih2 marka ning twitter. Pas tak delok2 siji2 karo menghapus-hapus terus trit iki gilirane tak hapus. Tapi tak bukak disik ben eruh iki tenatng apa seeh.... Eh tibake seruuuu. Gak sida tak hapus, mben nek kangen kanca tak maca iki maneh.
Delete