Sebuah Catatan Kecil di Balik Penerbitan Komik Tibet

September 2021 ini, kami di Rotasi Books menerjemahkan dan menerbitkan sebuah komik berjudul Tibet: Kisah Mhusha, Putri si Tukang Daging, karya Mark Hendriks. Komik ini diterbitkan pertama kali oleh Scratch Books, Amsterdam pada tahun 2015 dengan judul TIBET: De genezing van Mhusha de slagersdochter. Mark Hendriks adalah seorang komikus berbakat asal Belanda, yang telah beberapa kali memenangkan penghargaan atas karya karya komiknya.

Awalnya, sekitar pertengahan 2020, aku iseng untuk mencari komik-komik dari penerbit Eropa yang sekiranya bisa untuk diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia, dan bisa dikerjakan di sela-sela jadwal work from home. Mulailah aku mengontak penerbit-penerbit tersebut. Ada beberapa judul dari beberapa penerbit yang menjadi kandidat pada waktu itu, tapi akhirnya kami di Rotasi Books memutuskan untuk bekerja sama dengan Scratch Books di Amsterdam untuk menerbitkan Tibet.

Komik ini berkisah tentang Musha, anak seorang tukang daging, yang berjuang dalam perjalanannnya ke sebuah kuil untuk menyembuhkan penyakit yang di deritanya. Dalam perjalanannya itulah kita diperlihatkan pada Tibet yang lain, yang, seperti apa yang dituliskan oleh penerbit asalnya sebagai "negara di mana rahib rahib korup dan ekstrimis agama bercokol, dan penindasan pada rakyat jelata adalah kenyataan sehari-hari".
Komik ini bukan komik yang manis, meski gaya gambar Mark Hendriks memang indah banget. Komik ini adalah sebuah narasi tanding. Apa yang dialami Mhulan, tokoh utama dalam komik ini sungguh getir. Dialog-dialog dan adegan lain yang ada di komik ini dapat terasa sangat sinis, penuh ejekan, bahkan ofensif. Begitu membaca komiknya, dengan mudah kita dapat melihat narasi apa yang ditawarkan Mark Hendriks di sini. Sikap sinisnya terhadap fanatisme beragama yang pada tingkatannya (dapat saja) menuju ekstrimisme, kecenderungan pemimpin politik dan spiritual yang memanfaatkan agama untuk kepentingannya sendiri, polaritas masyarakat yang nyata akibat gerakan-gerakan sektarian dan politik, dunia yang patriarki, dan penindasan kaum miskin dan papa, yang tertuang dalam visual dan narasi komik ini adalah kritik, kalau tak boleh dibilang cemoohan, yang keras dan kasar bagi romantisasi Tibet ala barat.



Aku merasa bahwa apa yang dikritik Mark Hendriks dalam Tibet ini sungguh relevan, dan perlu dibaca sebagai sebuah kritik yang sama untuk beberapa hal yang serupa, yang terjadi di negeri kita, di Indonesia, meski pastinya ada perbedaan konteks, tempat, dan waktu. Tapi tetap saja, bagiku komik ini penting untuk diterjemahkan, terutama untuk membuat kita bercermin, mengambil sebuah pelajaran dari dunia rekaan yang digambarkan oleh komik ini. Itulah nilai dari sebuah karya yang baik, kan?

Ada catatan lain. Dalam komik ini ada banyak adegan yang menunjukkan ketelanjangan dan aktivitas seksual. Ketelanjangan ini bukanlah sekedar tempelan untuk menyenangkan pembaca, tapi mutlak diperlukan untuk menggambarkan konteks keadaan yang ada. Dialog-dialog dan adegan lain yang juga bisa terasa sangat ofensif. Kami sengaja tidak menerapkan "self-censorship" dan menampilkan apa adanya, demi menjaga keaslian naskah, dan menjaga agar pesan kritisnya tetap tersampaikan dengan baik. Oleh karena itu, penting sekali untuk memahami bahwa komik ini harus dibaca sebagai kritik atas keadaan tertentu, yang sudah disebutkan di atas, yang tentunya juga memerlukan kedewasaan dalam mencernanya. Itu sebabnya kami memberikan "rating" 21+ untuk komik ini.

Dalam proses penerbitan komik ini, kami juga berterima kasih kepada Letterenfonds, Dutch Foundation for Literature, yang telah memberikan dukungan finansial dan membantu kami dalam mengedit terjemahan, dengan supervisi dari Ibu Maya Sutedja-Liem.

Secara khusus pula, kami menampilkan nama penerjemah, Annayu Maharani, di halaman sampul, sebagai bentuk penghargaan atas kerja-kerja penerjemahan, yang kadang terlupakan dalam peta dunia komik. Kami ingin menormalisasi praktek seperti ini, dan kami memulainya di komik Tibet. Seperti kata Saramago, penerjemahlah yang menciptakan sastra dunia.

Salam.


Comments

Popular posts from this blog

Sedikit Catatan Soal Penerbitan Munnu: Bocah dari Kashmir

Buku Buku Kaum Pecinta Alam

Resensi Film: Main Kayu ( Dokumenter tentang Ketidak adilan Kehutanan di Jawa)